Memahami Pola Sikap Politik Pesantren
Musim pemilu merupakan alur demokrasi yang mesti dilalui. Pilihan dan sikap politik juga menjadi hal yang sering kali menjadi perhatian, terutama sikap politik tokoh agama. Belakangan, sikap politik kiyai atau tuan guru menjadi sangat diperhitungkan dalam konstalasi politik daerah ataupun nasional. Hal ini mengingat suara kiyai dengan pondok pesantrennya, atau komunitas yang mereka pimpin, bisa menjadi pendongkrak suara calon pemimpin tertentu. Oleh Karena itu sikap ataupun pilihan politik seorang kiai sangat diharapkan terutama oleh tim sukses partai tertentu.
Ada kiyai yang aktif menyerukan sikap maupun pilihan politiknya, ada pula yang memilih untuk tidak menyuarakan sikap politiknya. Ini adalah pilihan dan prinsip. Bukan berarti kiyai yang tidak menyuarakan sikap politiknya tidak memiliki pilihan politik, karena bisa jadi tidak menyuarakan merupakan dalam rangka menjaga stabilitas politik. Ini yang perlu diperhatikan.
Entah apa yang salah, sikap politik seorang kiai seringkali melahirkan stereotip ataupun stigma sebagian orang. Karena sikap politik yang berbeda, terkadang kiyai maupun lembaga pesantren diserang dan dihujat besar-besaran. Padahal sikap politik tentulah harus bebas karena sikap politik itu merupakan bagian dari berdemokrasi.
Tulisan ini, akan berbicara tentang sikap politik kaum pesantren (kiyai, tuan guru) yang akan dilihat menggunakan kacamata ilmu nahwu yaitu dalam pembagian kalam. Dalam ilmu nahwu, kalam dibagi menjadi tiga: isim, fiil, huruf. Isim dimaknai sebagai kata benda yang sifatnya tidak bisa dipengaruhi oleh waktu. Sementara itu, fiil dimaknai sebagai kata kerja yang dalam orientasinya dipengaruhi oleh waktu. Adapun hurf, tidak memiliki tanda tertentu, karena sifatnya sebagai penyambung antara satu kata dan kata yang lain.
Baca juga: Dalil Agama versus Fatwa Politis dalam Pilkada
Dari penjelasan diatas, jika kita berbicara sikap politik kiyai dalam kaca mata nahwu, maka bisa dipetakan bahwa sikap politik kiyai berpola pada tiga konsep diatas, yaitu isim, fiil dan hurf. Pertama, kiyai berpola isim adalah kiyai yang memiliki sikap politik tertentu dan aktif menyuarakan sikap politiknya, meskipun calon yang mereka usung tidak berasalah dari pondok atau organisasi mereka. Kedua, kiyai dengan pola pilihan politik seperti fiil adalah kiyai yang mengafiliasikan dirinya dalam partai politik tertentu, dan aktif menjadi tim suksesnya. Dan terakhir adalah kiyai dengan sikap politik berpola huruf, yaitu kiyai yang sikap politiknya bersifat individual. Artinya tidak menyuarakan sikap politiknya, yang berarti lebih mengedepankan netralitas.
Ketiga pola sikap politik diatas, sejatinya merupakan bentuk hak dasar politik yang tidak boleh diintimidasi ataupun didiskriminasi. Sangat disayangkan, jika beberapa kelompok atau partai tertentu, mendeskrediktan kiyai atau pondok pesantren yang memilih tidak mengafiliasikan diri pada partai politik tertentu. Mereka menilai bahwa sikap politik seperti itu merupakan sikap yang abu-abu dan bisa berdampak pada ketidakjelasan nasib politiknya di masa depan.
Alasan yang banyak dikemukakan, yang mendasari pilihan politik lembaga pesantren biasanya adalah motif birokratis dan ideologis. Motif pertama dimaksudkan pada sikap politik yang memiliki unsur transaksional yakni ketika salah seorang calon yang didukung berhasil, maka akan memberikan imbalan kepada lembaga pesantren terkait berupa kemudahan birokrasi. Motif kedua biasanya digerakkan oleh lembaga pesantren berpola fiil karena mereka memiliki ideologi tertentu untuk diperjuangkan melalui jalur politik.
Dengan melihat masing-masing motif lembaga pesantren dalam memberikan sikap politik mereka, maka setiap pola sikap politik diatas juga memiliki fungsi tersendiri dalam mewujudkan konstalasi poilitik yang seimbang dan damai. Artinya, posisi isim, fiil dan hurf disini harus dilihat secara fungsional. Hurf, meskipun tidak memiliki tanda yang jelas, tetap memiliki signifikansi peran yang luar biasa yaitu dalam menghubungkan isim dan fiil. Tanpa huruf, tidak akan pernah ada kalimat yang utuh dan efektif.
Oleh karena itu, pola sikap politik seperti huruf, merupakan sikap politik yang memiliki visi misi tertentu, seperti sebagai penyambung dari sikap politik berpola isim dan fiil. Hal ini sangat dibutuhkan terlebih mengingat sikap politik yang berbeda sering kali melahirkan sikap permusuhan di kalangan masyarakat. Tidak sedikit kita temukan seorang saudara tidak mau menyapa saudaranya karena pilihan politik yang berbeda.
Adanya sikap politik berpola hurf (netral) itu kemudian bisa menjadi sikap alternative dalam upaya menghindari konflik yang disebabkan oleh perbedaan pilihan politik. Dalam hal ini, kiyai dengan pondok pesantren ataupun organisai yang mereka pimpin, bisa mengkampanyekan pemilu damai tanpa intimidasi melalui netralitas mereka dalam sikap dan pilihan politik yang diambil.
Ahmad Patoni, SS*
– Pengajar Filsafat di Institut Agama Islam Hamzanwadi (IAIH) NW Pancor
– Kepala Madrasah Diniyah Salaf Modern (MDSM) Pondok Pesantren Thohir Yasin, Lendang Nangka Kecamatan Masbagik Lombok Timur