Romfi untuk Masyarakat NTB

Ahmad Efendi Pemerhati sosial politik, staf pengajar di Jurusan Sosiologi Agama UIN Mataram / foto: ist

LOMBOKita – Jika ingin tau gambaran bagaimana Ummi Rohmi hendak memimpin maka lihatlah bagaimana TGB KH. Zainul Majdi memimpin 10 tahun sebelum duet Zul-Rohmi. Di era kepemimpinan TGB lah NTB memulai debutnya sebagai provinsi yang mulai memperlihatkan daya tariknya di kancah nasional dan internasional.

Terbukti dengan banyaknya event-event yang diselenggarkan di NTB. Seiring dengan itu pariwisata di era TGB terlihat kemajuannya yang pesat. Sampai kemudian ada penghargaan untuk NTB di bidang pariwisata tingkat dunia dengan dianugerahkannya NTB sebagai the best halal tourism dan the best destinion of honeymoon.

Di era TGB “dimulainya” pembangunan bandara internasional lombok. Merintis keberadaan Mandalika sebagai daerah baru bagi pariwisata dan meletakkan fondasi bagi keberadaan sirkuit Mandalika, sehingga keberadaannya dapat dilihat seperti saat ini.

Di masa TGB juga pembangunan Teluk Saleh, Moyo dan Tambora (Samota) diinisiasi. Bagaimana pun Samota merupakan sumber daya alam yang besar bagi pemicu kemajuan di kabupaten Sumbawa. Bahkan Samota sendiri disebut sebagai aquarium raksasa karena potensi alam dan potensi pariwisatanya yang sangat menjanjikan.

Sedangkan yang menjadi lokomotif program sapi, jagung dan rumput laut (Pijar) sampai kini masih menjadi brand personal yang dilekatkan pada Pak Badrul Munir, juga mengalami kemajuan yang cukup berarti bagi pembangunan kesejahteraan masyarakat NTB kala itu.

Menolak Stigma

Ummi Rohmi sebagai seorang tokoh dari NWDI tidak boleh distigma sebagai personal yang tidak bisa berbuat adil bagi NTB. Ummi Rohmi memang berasal dari NWDI tetapi bukan berarti ia hadir sebagai orang nomer 1 untuk sekedar merefresentasi NWDI sebagaimana TGB KH. Zainul Majdi telah membuktikan dirinya sebagai pemimpin 2 periode yang sukses. Di dua periode itu hampir tidak pernah terdengar ada perlakuan diskriminatif di antara semua elemen masyarakat NTB. Begitu pula dengan akan hadirnya Ummi Rohmi-Pak Musafirin yang kurang lebih akan mewarisi karakteristik kepemimpinan TGB dahulunya. Bagaimana pun TGB adalah sosok sentral dari mentor Ummi Rohmi dalam kiprahnya sebagai seorang politisi.

Pada suatu masa di musim panas tahun 2023 silam, kebetulan penulis mengunjungi sebuah pondok pesantren di Ganti Lombok Tengah. Lalu pimpinan Ponpes bercerita bahwa ada kenangan spesialnya dengan TGB ketika sebagai Gubernur dahulunya. TGB pernah lewat di ponpesnya, lalu para santri berinisiatif memberhentikan Rombongan TGB. Setelah itu TGB pun masuk ke ponpes dan bertatap muka dengan semua penghuni ponpes.

Alhasil, kata pengurus ponpes TGB orang yang tidak banyak bicara. TGB hanya fokus pada apa yang bisa dilakukan untuk membantu ponpes dan beberapa minggu kemudian bantuan perluasan bangunan gedung ponpes pun telah direalisasikan oleh pemerintahan TGB kala itu.

Cerita ini penulis jamin sangat natural. Kami ke sana bukan sebagai orang dalam NWDI. Kami kesana bertiga dan di antara kami tidak satupun terafiliasi ke NWDI secara struktural, namun karena pemilik ponpes dipastikan mempunyai kesan tersendiri atas sikap TGB sebagai seorang pemimpin yang tidak ada perlakuan diskriminatif terhadap semua elemen di masyarakat. Pemilik ponpes terkesan karena baginya agak mudah menembus birokrasinya pemerintahan TGB yang dikenangnya sebagai momen langka.

Dari kisah terdahulu penulis hendak mengatakan bahwa sikap keagamaan yang moderat bisa jadi cerminan untuk melihat entitas sebuah personal bahkan organisasi. NWDI bersama dengan ormas-ormas lainnya yang berdiri sebagai arus utama moderasi beragama di Indonesia khususnya NTB, tentunya dapat menjadi panduan masyarakat untuk dapat menilai. Bahwa tidak ada sikap yang harus dikhawatirkan jikalau dari sebuah organisasi moderat lahir seorang pemimpin diskriminatif. Kepemimpinannya mempunyai sikap moderat sejak dikandung oleh organisasi moderat pula.

Oleh karenanya, sekira ada oknum yang mencoba menggiring masyarakat untuk bersikap apatis terhadap keberadaan pasangan Romfi tentu saja itu ahistoris. Dipastikan oknum atau elemen masyarakat yang membangun opini demikian merupakan taktik /strategi negatif untuk mengeliminir Romfi. Maka dari itu masyarakat harus dibangunkan kesadarannya agar mereka dapat berpartisipasi dalam pesta demokrasi memilih pemimpinnya berdasarkan preferensi yang dapat dipertanggung jawabkan.

Penulis mencoba memberikan penjelasan agar masyarakat tercerahkan. Literasi politik diperlukan bahkan urgen dan mendesak. Bagaimana pun pemimpin yang hadir dapat menjadi gambaran masyarakat yang dipimpinnya. Sebab itulah masyarakat harus terus dididik untuk semakin cerdas dalam kehidupan sosial politiknya, sehingga pelan-pelan negara bangsa kita indonesia bisa maju seiring kecerdasan masyarkatnya yang juga semakin maju.

Demokrasi Substantif

Dari pada para tim sukses dan atau masyarakat pemilih mendeskriditkan pasangan calon tertentu, kiranya lebih baik memantau jalannya demokrasi. Apakah demokrasi sudah dipraktikkan dengan baik atau hanya berupa demokrasi prosedural.

Bagaimana pun membangun demokrasi tidak bisa sekali jadi, tetapi merupakan kerja terus-menerus seiring dengan dipakainya sistem itu di aras nasional dan internasional. Dengan demikian kiranya masyarakat mengalihkan fokusnya untuk mengawal demokratisasi saja dari pada melakukan hal-hal yang tidak produktif, sperti menstigma pasangan calon tertentu.

Persoalan lain yang juga tidak kalah urgen adalah mewujudkan demokratisasi ekonomi untuk bisa sejalan dengan demokratisasi politik. Oleh karenanya lebih produktif kiranya masyarkat menyoroti berbagai macam program-program yang hendak diwujudkan oleh para pasangan calon. Sekiranya program-programnya tidak banyak berpihak untuk kesejahteraan masyarakat maka cukup itu sebagai barometer untuk menjadi alasan. Apakah tetap akan memilihnya atau meninggalkannya untuk kemudian berpindah pada pasangan calon yang lebih menjanjikan kesejahteraan bagi semua masyarkat NTB.

Berikutnya yang tidak kalah pentingnya adalah masyarkat dapat memfokuskan diri dalam menuntut transparansi. Apa-apa program yang sudah dibuat lalu bagaimana hasilnya. Apakah ada kemajuan atau kah stagnan.

Kiranya tiga hal terdahulu lebih produktif untuk diperbincangkan dari pada melakukan stigmatisasi kepada pasangan calon. /**

Ditulis oleh: Ahmad Efendi
Pemerhati sosial politik, staf pengajar di Jurusan Sosiologi Agama UIN Mataram. Ketua komunitas Batur.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Belum ada komentar disini
Jadilah yang pertama berkomentar disini