Bagaimana Kondisi Psikologis Membentuk Cara Kita Memahami Bahasa?

LOMBOKita – Apakah seringkali anda merasa salah memahami apa yang dikatakan seseorang hanya karena sedang sedih atau marah? Atau apakah anda merasa segalanya terdengar lebih menarik ketika anda berada dalam keadaan suasana hati yang baik?

Fenomena ini bukanlah suatu kebetulan, melainkan cara kita memahami bahasa sangat dipengaruhi oleh konteks psikologis yang kita hadapi.

Bahasa tidak hanya sekedar kumpulan kata dan kalimat, tetapi bahasa merupakan sarana komunikasi dan ekspresi yang sangat penting. Di balik setiap kata yang kita ucapkan atau dengar terdapat interaksi kompleks antara pikiran, emosi, dan pengalaman hidup. Psikolinguistik, cabang ilmu yang mempelajari hubungan antara bahasa dan otak, menunjukkan bahwa pemahaman bahasa tidak hanya ditentukan oleh pengetahuan bahasa tetapi juga oleh keadaan emosi, tingkat stres, dan pengalaman psikologis seseorang. Semua ini dapat mempengaruhi cara kita memandang dan menafsirkan makna kata-kata yang ditulis maupun diucapkan.

Hubungan antara emosi dan pemahaman bahasa tidak hanya menarik tetapi juga kompleks. Emosi seseorang memengaruhi cara otak mereka memproses informasi linguistik melalui mekanisme neurologis yang melibatkan amigdala, korteks prefrontal, dan area Broca. Emosi positif dan negatif menciptakan perbedaan yang signifikan dalam cara manusia memahami kata-kata, frasa, atau kalimat.

Ketika seseorang sedang bahagia atau santai, mereka cenderung lebih mudah memproses informasi linguistik dengan cara yang fleksibel dan kreatif. Hal ini disebabkan oleh peningkatan aktivitas dalam korteks prefrontal, yang bertanggung jawab atas pemikiran kompleks dan pemecahan masalah. Dalam konteks ini, seseorang yang mendengar pernyataan ambigu seperti “Itu ide yang menarik” mungkin menafsirkannya sebagai pujian atau dorongan untuk bereksplorasi lebih jauh.

Sebaliknya, ketika seseorang sedang marah, takut, atau sedih, penafsiran bahasanya seringkali dipengaruhi oleh pola pikir yang lebih sempit dan defensif. Emosi negatif cenderung mengaktifkan amigdala, yang lebih memperhatikan ancaman dan nuansa negatif dalam komunikasi. Misalnya, pernyataan “Itu ide yang menarik” dapat dianggap sebagai lelucon atau kritik oleh seseorang yang sedang merasa cemas atau kesal.

Stres adalah faktor psikologis lain yang memiliki dampak signifikan terhadap pemahaman bahasa. Ketika seseorang berada dalam situasi stres, otak mengaktifkan sistem fight-or-flight melalui pelepasan hormon kortisol. Meskipun respons ini dirancang untuk membantu individu menghadapi ancaman fisik, efek sampingnya adalah penurunan fungsi kognitif, termasuk kemampuan memproses bahasa.

Stres kronis, misalnya, dapat mengurangi kapasitas memori kerja (working memory), yang berfungsi sebagai “ruang kerja mental” untuk memproses dan menyimpan informasi sementara. Dalam percakapan atau membaca teks, memori kerja diperlukan untuk menghubungkan ide-ide dalam satu paragraf atau menangkap makna implisit. Ketika memori kerja terganggu akibat stres, individu mungkin akan kehilangan fokus atau gagal memahami konteks secara keseluruhan.

Dampak stres pada pemrosesan bahasa juga terlihat dalam situasi sosial. Individu yang mengalami stres tinggi mungkin menjadi lebih reaktif terhadap kritik atau nada suara tertentu dalam percakapan. Sebagai contoh, seorang mahasiswa yang gugup saat presentasi mungkin merasa kesulitan menjawab pertanyaan sederhana karena otaknya sibuk mengelola tekanan emosional daripada memproses isi pertanyaan.

Selain emosi dan stres, pengalaman psikologis seseorang juga memainkan peran penting dalam membentuk cara mereka memahami bahasa. Pengalaman masa lalu, baik positif maupun negatif, membangun pola pikir dan respons emosional yang memengaruhi interpretasi mereka terhadap komunikasi.

Trauma psikologis adalah salah satu contoh ekstrem yang dapat mengubah pemahaman bahasa secara signifikan. Misalnya, seorang penyintas trauma kekerasan mungkin memiliki reaksi emosional yang kuat terhadap kata-kata atau frasa tertentu yang terkait dengan pengalaman traumatis mereka. Hal ini sering terjadi pada individu dengan gangguan stres pasca-trauma (PTSD), di mana bahasa tertentu dapat memicu kenangan buruk atau respons emosional yang intens.

Di sisi lain, pengalaman hidup yang positif, seperti dukungan verbal yang konsisten dari keluarga atau teman, dapat menciptakan pola pemahaman bahasa yang lebih optimis. Misalnya, seseorang yang sering mendengar pujian seperti “Kamu pasti bisa melakukannya” atau “Aku percaya padamu” cenderung lebih mudah menafsirkan pesan dengan nada mendukung, bahkan dalam situasi ambigu.

Kondisi psikologis memiliki dampak yang signifikan pada cara manusia memahami bahasa. Emosi dan stres tidak hanya memengaruhi interpretasi makna tetapi juga memengaruhi efisiensi komunikasi. Mengetahui bagaimana perasaan dan stres bisa mempengaruhi cara kita berkomunikasi sangat penting, terutama saat kita berada dalam situasi sulit atau beremosi. Dengan begitu, kita bisa belajar untuk lebih berhati-hati dalam berkomunikasi dan menghindari kesalahpahaman.

[Lidya Rahmawati]
Mahasiswa Program Studi Pendidikan bahasa Inggris, UNW Mataram, 2024

Tugas Akhir Mata Kuliah Psycholinguistics
Dosen Pengampu Mata Kuliah: M. Rajabul Gufron, S.Pd., M.A.