Terdakwa Kasus Pelecehan Seksual Anak di Sembalun Divonis 9 Tahun Penjara
LOTIM LOMBOKita – Majelis hakim Pengadilan Negeri Lombok Timur, Selaz (7/10) lalu menjatuhkan vonis 9 tahun penjara kepada Sab terdakwa Kasus Tindak Pidana Pelecehan Seksual Anak yang terjadi di wilayah Kecamatan Sembalun.
Dalam putusanny majelis hakim menyatakan terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan telah melakukan tindak pidana tipu muslihat dan kebohongan, serta membujuk korban untuk melakukan persetubuhan dengannya secara berlanjut.
Atas perbuatannya itu, terdakwa dijatuhi hukuman pidana penjara selama 9 Tahun dan denda Rp. 100 juta dengan subsider kurungan selama 6 Bulan.
Kasi Intelijen Kejaksaan Negeri Lombok Timur Ugik Ramantyo yang di konfirmasi membenarkan vonis 9 tahun dan denda 100 juta kepada terdakwa kasus asusila tersebut. Terhadap vonis tersebut Jaksa Penuntut Umum (JPU) menilai bahwa vonis yang dijatuhkan kepada terdakwa itu sudah memenuhi rasa keadilan bagi masyarakat sehingga pihaknya akan menerima putusan tersebut selama tidak ada upaya hukum yang dilakukan oleh terdakwa.
“Apabila terdakwa ini tidak melakukan upaya hukum selama 7 hari setelah putusan, maka kami akan menerima putusan itu, karena berdasarkan SOP, putusan itu sudah memenuhi rasa keadilan bagi masyarakat,” ujarnya didampingi Jaksa Penuntut Umum (JPU) dan Kasubsi 1 Bidang Intelijen Kejari Lotim di kantornya. Kamis
Kasi Intel menyebutkan, terdakwa Sabirhan – yang sekarang menjadi terpidana – merupakan ASN Guru yang mengajar di salah satu SD Negeri di Kecamatan Sembalun. Dan korbannya itu merupakan muridnya sendiri di SD Negeri tersebut.
JPU Kejari Lotim, kata dia, awalnya menuntutnya 10 tahun penjara dan denda Rp. 100 Juta dengan subsider kurungan selama 6 bulan. Tapi mungkin dengan berbagai pertimbangan, majelis hakim menguranginya 1 tahun dari tuntutan awal sehingga menjadi 9 tahun penjara.
Jaksa Penuntut Kejari Lotim, Widya menambahkan, pelecehan yang dilakukan terpidana Sabirhan terhadap korban itu berlangsung dalam rentang waktu tahun 2019 hingga tahun 2024 yaitu sejak korban duduk di bangku kelas 2 SD hingga kelas VII MTs.
“Jadi, pelecehan dimulai sejak korban berusia 8 tahun hingga berusia 13 tahun, dan dilakukan sebanyak 5 kali,” ujarnya.
Setelah kejadian pertama, lanjut Widya, pelaku kembali melakukan pelecehan terhadap korban, yaitu ketika korban duduk di bangku kelas IV, Kelas V dan Kelas VI SD, dan terakhir ketika korban sudah duduk di kelas VII MTs.
Untuk lokasi, sambung Widya, empat kali dilakukan dilakukan di SD tempat pelaku mengajar dan korban Sekolah, sementara aksi yang terakhir dilakukan di sebuah hutan di wilayah Kecamatan Sembalun.
Berdasarkan keterangan Psikolog di persidangan, kata Widya, korban mengalami trauma berat atas kejadian itu, hal itu terungkap dari fakta-fakta persidangan bahwa korban sejak mengalami peristiwa tragis itu menjadi pendiam dan takut berbicara dengan orang lain.
Itulah sebabnya sehingga korban tidak berani menolak bujukan pelaku setiap kali akan melancarkan aksinya untuk melecehkan korban.
