Zul-Rohmi dan Pembangunan Pariwisata NTB
LOMBOKita – Baru-baru ini masyarakat dari lingkaran KEK Mandalika mendatangi Bang Zul (Gubernur NTB) untuk menyampaikan aspirasinya mengenai nasib mereka di areal pembanguan pariwisata Mandalika. Mendapati tamu yang datang, Bang Zul tidak sungkan-sungkan menerimanya.
Para tamu dipersilahkan masuk ke dalam kantor yang menjadi ruang kerja sehari-hari Gubernur NTB itu. Dengan ramah pula Bang Zul melayani mereka, layaknya tuan rumah yang menjadikan tamu sebagai raja, menyuguhkan makanan dan minuman bagi para tamu tersebut. Bahkan kursi kerja Gubernur diduduki oleh salah seorang tamu (perwakilan) masyarakat lingkar Mandalika yang mana tamu itu sendiri tidak sadar jika itu tempat duduknya Bang Zul.
Sontak saja tamu tersebut agak salah tingkah, namun Bang Zul dengan santai menenangkannya untuk tetap duduk ditempat semula barulah sang tamu itu lega. Bang Zul pun mengambil posisi duduk di deretan kursi tengah-tengah sehingga otomatis berbaur dengan tamu-tamu yang datang.
Cerita terpinggirnya masyarakat berhadapan dengan “kepentingan pembangunan” seperti di atas merupakan persoalan klasik. Sering media massa memberitakan hal-hal seperti itu. Cerita mengenai si kuat melawan si lemah. Si pemodal besar dengan rakyat yang hanya mencari nafkah agar kehidupan mereka bisa berlanjut. Cerita si banyak uang yang dapat membeli apa saja melawan rakyat banyak yang tidak punya uang banyak.
Itulah kiranya yang menjadi latar setting dari pemahaman Bang Zul sehingga dengan bijak mempersilahkan para tamu guna ia mendengar pengaduan mereka. Agar mereka bisa mendapatkan berkah dari pembangunan yang telah sedang dilaksanakan. Agar pembangunan tidak menghasilkan sesuatu yang kontraproduktif dengan tujuan pembangunan itu sendiri. Agar masyarakat local tidak merasa asing di tanah mereka sendiri.
Untuk menindaklanjuti pertemuan itu Bang Zul memerintahkan kepada pejabat erkait untuk mencata semua aduan dan keluhan masyarakat. Catatan itu kemudian menjadi masukan bagi pihak-pihak terkait agar seyogyanya dapat mengakomodasi kepentingan warga masyarakat. Niatannya jelas agar ditemukan jalan tengah dari persoalan-persoalan itu. Si kuat mendapatkan akses membangun dan rakyat kebanyakan juga tetap bisa mengambil manfaat.
Memang menghadapi situasi kondisi dunia terkini (Baca: Era kejayaan kapitalisme global) diperlukan seorang pemimpin yang bijak. Tidak pro sebelah. Melainkan mampu memberikan solusi jalan tengah sehingga keebradaannya menjadi tempat berlindung. Bukan pemimpin yang berdiri atas nama kepentingan pemodal sehingga pemimpin seperti itu rawan menjadi boneka atau pesanan pihak-pihak tertentu.
Semoga Bang Zul tetap bisa memberikan yang terbaik untuk masyarakat erutama masyarakat yang tengah sedang terpinggirkan menghadapi tirani “pembangunan” seperti di Lingakaran Mandalika itu.
Aktor Pariwisata
Memahami pariwisata tidak bisa hanya dengan melihat trend kunjungan saja. Tidak cukup dengan melihat dinamika pemasukan devisa saja. Memahami pariwisata paling tidak harus memahami siapa saja aktor-aktor yang terlibat di dalamnya.
Menurut studi aktor-aktor pariwisata itu terdiri dari: pertama, “perusahaan penerbangan dengan jadwal tetap seperti (JAL, KLM, Lufthansa, Qantas, Laker, Donaldson dan Condor). Kedua; jaringan perhotelan seperti (Hilton, Sheraton, Holiday Inn, Hyatt). Ketiga; operator wisata seperti (Neckerman, American Express, Thomson dll). Keempat; perusahaan persewaan mobil seperti Aviz dan Hertz. Lalu ada juga operator kapal wisata seperti Holland, America, Cunard, P&O. Terakhir, perusahaan-perusahaan penunjang seperti pembuat Ski, Charter Yacht atau pengiriman lewat udara buah-buahan segar untuk hotel-hotel dan sebagainya (Masoed Mochtar: 2003).
Menyaksikan jaringan aktor-aktor pariwisata pada paragraph terdahulu, tentunya ada gambaran bahwa perputaran uang dari keberadaan para turis manca Negara sudah jelas berputar di sana. Bahwa perusahaan-perusahaan yang terlibat merupakan perusahaan lintas Negara yang mempunyai percabangan hampir di seluruh dunia. Merekalah actor-aktor raksasa pariwisata di mana penikmat pertama dari siklus perputaran dunia pariwisata itu jelas mereka di ring pertama.
Begitulah pula dengan aktor-aktor pariwisata ditingkat nasional dan local. Jelas yang terlibat adalah mereka-mereka yang mempunyai akses modal, sehingga perputarannya juga di seputar itu juga. Artinya pariwisata yang sedang dibicarakan memang mempunyai jaringan penikmat yang bertingkat-tingkat. Jelas yang menerima untung pertama adalah mereka yang terlibat dalam jaringan pariwisata itu sendiri.
Sementara masyarakat yang berada di luar itu tentu kemungkinan hanya bisa menjadi pekerja- pekerja, pegawai hotel, sopir, penyedia Souvenir, dan seterusnya. Dalam pada itu, maka tidaklah berlebihan Negara —negara tujuan dari perjalanan para touris dikatakan hanya menerima manfaat 10 % saja dari proses kepariwisataan.
Tentu dalam posisi itu wajarlah kiranya masyarakat local selalu berada dalam posisi kurang mempunyai posisi tawar. Mereka seolah menjadi kumpulan orang yang kebingungan dengan proses pembangunan yang melibatkan actor-aktor besar sebagai actor utamanya sementara sebagaian besar mereka hanya bisa menjadi pedagang kaki lima di tengah megah dan elitnya pembangunan.
Desa Wisata
Bisa jadi untuk meretas kebuntuan akan jaringan pariwisata yang seolah-olah tidak juga memberikan kesejahteraan massif terhadap masyarakat local lalu dicetuskanlah Desa Wisata.
Sungguh ini merupakan jalan yang baik untuk memperluas jaringan kepariwisataan. Seperti dijelaskan di atas pada sub judul sebelumnya bahwa memahami pariwisata dapat dilihat jaringan yang terlibat di dalamnya. Siapa terlibat maka dialah yang menjadi penikmat pertamanya, sehingga sulit dibayangkan akan menetes langsung ke masyarakat lokal yang area atau wilayahnya ditempati oleh actor-aktor pariwisata itu sendiri.
Dengan melihat kondisi itu maka tepat kiranya masyarakat harus berbenah dengan tema Desa Wisata. Ini adalah salah satu jalan untuk memecahkan persoalan perluasan pendapatan masyarakat. Hal ini pun ditangkap oleh pemerintahan Zul-Rohmi dengan memberikan stimulasi satu milyar rupiah terhadap keberdaan Desa wisata yang potensial.
Perluasan program Desa Wisata artinya memperluas jaringan kepariwisataan itu sendiri. Di sana akan terlibat actor-aktor yang ada di desa sehingga dapat langsung merasakan tetesan dari kepariwisataan itu.
Jaringan pariwisata yang selama ini seperti tidak terpecahkan kini lambat laun akan semakin diperluas ke Desa-desa. Tentunya para aktor-aktor di Desa akan mempersiapkan berbagai sarana dan prasarana untuk itu sehingga otomatis aka ada dampak kesejahteraan bagi masyarakat secara lebih luas dan merata.
Tinggalkan Balasan