TGB Untuk Indonesia
LOMBOKita – Tulisan mengenai TGKH Zainul Majdi yang kemudian di sini disebut TGB cukup banyak beredar di media cetak maupun on line. Apalagi setelah pernyataan TGB baru-baru ini yang secara normative mendukung pemerintahan Jokowi di sebuah TV Suasta nasional di Jakarta. Padahal menurut penulis hal itu terlalu berlebihan untuk menyebut TGB siap dijadikan pihak atau blok yang berdiri bersama Jokowi.
Faktanya, media di Indonesia ini sebegitu sumringahnya atas apa yang TGB lontarkan sehingga hampir semua media merespon. Alih-alih membuat TGB menjadi personal biasa malah gara-gara respon media yang riuh rendah itu membuat TGB semakin naik ratingnya dalam pembicaraan skala nasional. Jelas karena adanya respon media baik yang pro dan kontra itulah yang membuat jagat Indonesia penuh dengan pembicaraan mengenai TGB.
Lalu turun menjadi perbincangan sengit di tengah-tengah masyarakat, menjadi perdebatan dan diskusi di ruang —ruang public sampai pojok-pojok sempit kedai-kedai kopi. Semua membicarakan TGB sampai pada lini media social pun tidak luput dari hal ini. Ada ribuan like dan tanggapan pro dan kontra menghiasi ruang-ruang maya masyarakat.
Kondisi ini jelas membuat posisi TGB yang tadinya mungkin bermaksud hanya memberikan opini yang biasa saja mengenai pemerintahan Jokowi, lalu seolah-olah diseret begitu dalam menjadi siap sebagai wakil presiden (Wapres) Jokowi pada pilpres 2019. Hal ini sungguh dramatis karena bisa saja disebabkan timingnya yang tepat yaitu menjelang pergantian (pemilihan) pemimpin nasional yang hanya menunggu hitungan bulan. Apapun itu seorang personal TGB harus kuat menerima berbagai gempuran hinaan, cercaan dan tanggapan miring lainnya terhadap pernyataannya yang sekelumit mengenai pemerintahan Jokowi tersebut.
Sebagai seorang personal TGB dapat dibayangkan dalam posisi maju kena atau mundur pun akan kena. Sebegitu tidak amannya posisi yang harus ia lakoni di mana oleh sekelompok masyarakat menuntutnya untuk kritis terhadap rejim berkuasa. Di sisi lain ia juga harus tetap bisa memberikan kesejukan pada pemimpin yang tengah sedang bekerja keras bagi mensejahterakan rakyat Indonesia. Apalagi secara personal ia juga sebagai Gubernur yang tengah menjabat sebagai kepanjangan tangan pemerintah pusat.
Dalam posisi ini andai saja respon media tidak terlalu berlebihan bisa saja pernyataan TGB itu tidak akan berimbas sebegitu besarnya terhadap dinamika social- politik nasional. Namun karena respon besar itu sesungguhnya yang membuat peta social-politik menjadi nampak semakin berwarna terang. TGB ditempatkan pada posisi bloknya Jokowi sehingga mau tidak mau pun TGB sepertinya harus mengikuti arus tersebut.
Terlebih memang sang Petahana (Jokowi) dalam proses mencari pasangan untuk maju di tahun 2019 mendatang dalam perhelatan pilpres. Hal ini seolah memberikan ruang yang cukup besar bagi media dan masyarakat untuk bersama-sama memberi respon dan usaha menemukan tokoh /figure pendamping nya pak Jokowi. Lalu menggelindinglah arus ini menjadi Jokowi_TGB di 2019-2024.
Apalagi selangkah kemudian TGB tidak ragu lagi meninggalkan partai Demokrat yang selama ini telah menjadi kendaraannya dalam perjalanannya sebagai Gubernur NTB. Pendaratan selanjutnya adalah Nasdem yang nota bene adalah partai pendukung kental pemerintahan Jokowi, sehingga susasana semakin jelas akan ada kemungkinan peluang besar TGB akan menjadi pendampingnya Jokowi.
Narasi inilah kemudian yang sebenarnya membuat sebagian masyarakat Indonesia sepertinya resisten dan meradang. Apalagi selama ini TGB dengan nama besarnya telah dilekatkan dekat dengan ummat Islam yang merasa “tertindih” oleh rejim berkuasa saat ini. Jauh-jauh hari masyarakat (ummat) islam merasa dinaungi oleh kiprah TGB dalam pentas nasional. Mereka sangat terobsesi TGB dapat menjadi pemimpin nasional yang berdiri di pihak oposisi, sehingga semua harapan-harapan mereka dapat terlaksana sekaligus keresahan-keresahan mereka dapat di eliminir dalam mengarungi kehidupan kebangsaan.
Pada titik ini harapan itu sangat beralasan. Namun harus diingat bahwa system tidak selamanya bisa berpihak pada harapan-harapan besar masyarakat tersebut. Alasanya jelas dikarenakan setiap pemimpin yang hendak di-goal-kan memerlukan kendaraan partai politik. Sementara TGB hanya putra daerah yang tidak menjadi ketua sebuah partai sehingga mengharapkan TGB bisa mengorbitkan dirinya sama saja dengan mengharapan hujan turun di musim panas. Pilihannya kemudian adalah masuk ke system (partai) yang memungkinkan memberikannya peluang besar guna bisa merebut kekuasaan tertinggi itu.
TGB dan Moderasi Islam
Tulisan ini selanjutnya menyoroti posisi TGB dilihat dari posisi masyarakat. Bahwa TGB dalam berbagai kesempatan sering memfatwakan adanya istilah moderasi Islam yang memberikan cara pandang dan paradigma dalam menempatkan diri sebagai komunitas besar bangsa ini.
Dari moderasi islam memungkinkan adanya gerakan keummatan yang proporsional dalam pergulatan kebangsaan. Moderasi islam memberikan penekanan pada konteks pengarusutamaan persaudaraan dan kekompakan sesama anak bangsa, di mana sedapat mungkin berusaha mengeliminir eksklusivitas kelompok yang dapat menggerus persatuan dan kesatuan kebangsaan.
Pada posisi ini TGB hendak memberikan pembelajaran bahwa dalam konteks keindonesiaan Islam perlu tampil dalam kerangka merangkul semua pihak selama mereka adalah saudara sebangsa dan setanah air.
Tidak ada penekanan berlebihan terhadap hal-hal primordial dapat menjadi cara untuk tetap dapat merajut tentun kebangsaan itu. Hal ini juga dilandasi oleh nasihat yang ia terima dari Grand Syaikh Al-Azhar pada saat TGB mendampingi ketika sang Syaikh datang berkunjung ke Indonesia, di mana banyak dari Negara-negara di timur-tengah dilanda kemelut karena hilangnya moderasi itu sendiri.
Jangan sampai peristiwa-peristiwa kemelut yang tidak berkesudahan di Negara-negara timur —tengah menular ke Indonesia sehingga yang harus ditekankan adalah persaudaraan dan kekompakan. Hanya dengan demikian Islam rahmatan lil-alamiin itu dapat menemukan realisasinya di Indonesia.
Dalam konteks pilihan TGB sebagai personal yang berdiri di posisi Jokowi dapat saja dipahami memakai kerangka di atas jikalau memang harus memerlukan landasan ideologis. Kenapa? Karena sesungguhnya dinamika yang tengah sedang berjalan kini tidak dapat dihadapi dengan perasaan emosional berlebih. Jika itu ditanggapi berlebih dikhawatirkan kondisi akan tambah semakin tidak menentu.
Pada konteks saat ini ummat Islam dituntut berhati-hati dalam rangka terus membangun semangat persaudaraan dalam bingkai kebangsaan. Ini harus terus dipupuk dan dipertahankan guna mencegah adanya blok-blok yang tidak dapat dijembatani pada konteks keindonesiaan. Tentu saja agar keterkaitan antara satu kelompok dengan kelompok lainnya di Indonesia dapat melebur, saling bergandengan tangan dan tetap dapat dirajut dalam bingkai tunggal ika.
Sebaliknya jikalau harus memelihara semangat primordial yang terus —menerus diperbesar dikhawatirkan rajutan kebangsaan dapat merenggang dan terancam sobek.
Jadi dari konteks pembelajaran yang diberikan oleh TGB dengan berbagai sikap yang diambil dalam kancah nasional hendaknya dimaklumi bersama, bahwa ini jelas mengutamakan adanya pemupukan persaudaraan, kekompakan demi menjaga NKRI sendiri sebagai entitas yang tidak boleh terjadi adanya friksi-friksi berlebihan yang nantinya jikalau dibiarkan sulit terjembatani yang ujung-ujungnya berakhir dengan konflik terbuka.