Sendok-Garpu Edible Berbasis Ampas Tahu, Inovasi Jitu Pengganti Alat Makan Plastik Sekali Pakai

Zahrah Khaerani, Mahasiswi Magister Ilmu Pangan IPB

LOMBOKita – Maraknya pengunaan layanan makanan pesan antar (delivery food) yang terjadi pada masa pandemi Covid-19 meningkatkan kebutuhan kemasan plastik di sektor industri makanan dan minuman. Kemasan berupa kantong plastik dan alat makan plastik seringkali hanya digunakan untuk sekali pengunaan saja. Hal tersebut secara tidak langsung akan berdampak terhadap kesehatan lingkungan yang disebabkan oleh menumpuknya sampah plastik yang sulit untuk terurai.

Berdasarkan data dari Sistem Informasi Pengelolaan Sampah Nasional (SIPSN), pada tahun 2020 plastik menyumbang 17,08% dari 34,6 juta ton ke seluruhan sampah di Indonesia. Data tersebut mengalami kenaikan dari tahun 2019 yang tercatat memiliki persentasi sampah plastik sebanyak 16,38%.

Oleh karena itu, untuk menekan produksi sampah plastik, penggunaan kemasan dalam sistem delivery food khususnya alat makan sekali pakai dapat digantikan dengan alat makan yang ramah lingkungan. Edible cutlery (alat makan yang dapat dimakan) merupakan salah satu solusi yang dapat menggeser kedudukan alat makan plastik tersebut.

Edible cutlery merupakan alat makan berupa sendok dan garpu yang terbuat dari bahan pangan, sehingga aman untuk dikonsumsi sekaligus dengan makanan yang disajikan

Sekalipun tidak untuk dikonsumsi, keberadaan edible cutlery yang dibuang sebagai sampah akan mudah terurai oleh organisme yang terdapat di lingkungan sehingga tidak menyebabkan penumpukan sampah. Alat makan edible biasanya terbuat dari bahan yang kaya akan sumber karbohidrat seperti yang banyak dijumpai pada produk tepung-tepungan. Salah satu produk tepung yang dapat digunakan dalam pembuatan alat makan ini adalah tepung ampas tahu.

Penggunaan ampas tahu sebagai bahan baku edible cutlery merupakan upaya untuk memanfaatkan limbah atau hasil samping dari suatu produk pangan yang sudah tidak digunakan lagi. Meskipun termasuk dalam golongan limbah, ampas tahu masih mengandung gizi yang cukup tinggi. Tepung dari ampas tahu sendiri mengandung gizi berupa air (16,54%), abu (6,30%), protein (15,23%), lemak (6,59%), karbohidrat (55,49%) dan serat kasar (3,33%) (Pujilestari et al, 2019).

Cara membuat alat makan berbasis ampas tahu ini tidaklah sulit. Diawali dengan pencampuran bahan baku berupa tepung ampas tahu dan tepung terigu (1:1) yang ditambahkan air dan diuleni hingga kalis. Selanjutnya dilakukan pemipihan adonan dengan ketebalan sesuai selera dan dicetak dengan cetakan sendok atau garpu. Adonan yang telah dicetak kemudian dimasukan ke dalam oven dengan suhu 300-360ºC selama 10 menit (Kabir et al, 2021). Setelah selesai dioven, alat makan ini akan bertekstur keras sehingga dapat berfungsi selayaknya alat makan pada umumnya.

Namun kelemahan dari alat makan ini adalah penggunaannya yang tidak cocok untuk makanan berkuah karena karakteristik dari bahan penyusunya yang mudah larut oleh air.

Penggunaan bahan baku yang tidak biasa serta cara pembuatan yang sangat mudah, menjadikan alat makan ini menjadi inovasi yang patut untuk dikembangkan. Tidak hanya sebagai pengganti alat makan plastik yang tidak baik untuk lingkungan, namun juga sebagai inovasi dalam bidang pangan yang memanfaatkan limbah hasil samping dari suatu produk.

Oleh karena itu, mari kita mengambil peran dalam pengurangan sampah plastik di Indonesia dengan mengganti alat makan plastik yang kita gunakan dengan alat makan edible dari bahan pangan. Bersama pangan kita berinovasi, tanpa plastik kita diapresiasi.

Daftar Pustaka

  1. Kabir, M. H. and N. Hamidon, 2021. A Study of Edible Cutleries by Using Sorghum Flour. Journal Progress in Engineering Application and Technology. 2 (1): 292–300.
  2. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, 2021. Sistem Informasi Pengelolaan Sampah Nasional (SIPSN). https://sipsn.menlhk.go.id/sipsn/public/data/komposisi. (Diaskes pada tanggal 16 September 2021)
  3. Pujilestari, S. dan N. Larasati, 2019. Karakteristik Kue Semprong Hasil Formulasi Tepung Ampas Kedelai (Glycine max L.). Jurnal Teknologi Pangan dan Kesehatan. 1(1): 20.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Belum ada komentar disini
Jadilah yang pertama berkomentar disini