Rekonstruksi Gerak Pendidikan Nasional dalam Debat Capres/Cawapres 2019
LOMBOKita – Rentang waktu 1945 sampai dengan 2019, Indonesia sudah mampu berdiri sebagai negara yang berdaulat. Arifnya, dalam kurun waktu tersebut setiap orang dibenarkan untuk bermanuver dengan rasionalitas mereka masing-masing sebagai bentuk kebebasan berfikir dan berimajinasi. Tidak peduli itu pejabat publik atau rakyat jelata sekalipun, bebas memberikan nilai interpretatif mereka di ranah publik untuk dikonsumsi oleh khalayak.
Sebagai salah satu contoh, role model semacam ini telah dipertontonkan beberapa waktu yang lalu lewat panggung Debat Capres dan Cawapres 2019 yang menyisakan anonim baru dalam reaksi berpikir masyarakat. Hal ini tentunya berkaitan dengan ide, gagasan, kritik, dan autokritik kebangasaan.
Isu pendidikan kemudian menjadi topik yang cukup menarik untuk dijadikan sebagai sorotan. Karena bagaimanapun juga, bagian intim yang paling krusial dari sebuah negara adalah pendidikan dan seluruh sistem yang melatarbelakanginya. Daya saing sumber daya manusia tidaklah lagi bertumpu dari sumber daya alam pada setiap pelaku kehidupan, namun bagaimana aspek intelektualitas daya insani mampu mempengaruhi segala aspek kehidupan lainnya. Aspek intelektualitas tersebut kemudian mengejawantah ke dalam bentuk rasionalisasi berfikir masyarakat yang kebetulan disampaikan oleh aktor politik dalam kurun waktu yang cukup intimidatif.
Setidaknya ada tiga poin penting yang menjadi isu sentral rekonstruksi arah gerak pendidikan Indonesia di masa yang akan datang dalam kontestasi Debat Capres dan Cawapres 2019 beberapa waktu yang lalu, yakni tentang peningkatan kesejahteraan guru, tawaran penghapusan Ujian Nasional (UN), dan libur panjang di bulan Ramadan.
Guru honorer Kategori 2 (K2) akan diangkat menjadi Aparatur Sipil Negara (ASN). hal ini tentu akan menjadi kebijaksanaan yang cukup monumental, mengingat saat ini betapa banyaknya guru-guru yang sudah sekian lama mengabdikan dirinya sebagai jurang pemisah kebodohan dan kemiskinan, namun belum juga diakui oleh negara ini sebagai ASN. Hal ini kemudian mengingatkan kita bagaimana Jepang hancur dibombardir dengan bom Atom oleh tentara sekutu, dan hal yang paling pertama ditanyakan oleh Kaisar Jepang pada saat itu adalah “Berapa jumlah guru yang masih hidup?”. Kejadian ini menyiratkan bahwa betapa Jepang memposisikan guru sebagai suatu profesi yang mulia dan agung. Bahwasanya pendidikan sangatlah bergantung dari guru-guru kita, namun di Indonesia kesejahteraan guru bergantung pada keputusan politik dan kebijakan oligarki.
Rencana penghapusan Ujian Nasional yang perlu kita akui sebagai bentuk grand design yang cukup berani, mengingat Ujian Nasional (UN) merupakan bentuk evaluasi dalam dunia pendidikan yang sudah diamanahkan oleh Undang-undang dan sejak beberapa dekade sebelumnya sudah sering mengalami perubahan dan pembaruan. Selain itu, ketidakjujuran dalam pelaksanaan UN sudah sejak lama menjadi rahasia umum yang terus dievaluasi, karena hasil yang diperoleh melalui Ujian Nasional ini bukanlah cerminan kemampuan siswa, melainkan hasil dari upaya-upaya tidak terpuji beberapa oknum dalam dunia pendidikan. Di sisi yang berbeda, solusi yang ditawarkan dari usulan tersebut adalah dengan mengalihkan bentuk Ujian Nasional (UN) ke dalam treatment yang berbeda, yakni dengan menjaring fokus minat dan bakat siswa. Jika diperhatikan, hal ini juga akan menyisakan pertanyaan tentang arah pendidikan Indonesia dan reevaluasi Kurikulum 2013 yang masih berlaku saat ini.
Sebagai perbandingan saja, negara dengan sistem pendidikan terbaik di dunia, Finlandia, tidak menerapkan pola Ujian Nasional untuk mengevaluasi peserta didiknya. Jam belajar formal yang lebih sederhana dan tidak terlalu membebani siswa. Artinya adalah, elaborasi jam pelajaran lebih ditekankan pada eksplorasi diri siswa melalui minat dan bakat yang mereka gandrungi.
Rencana libur panjang di bulan Ramadan. Hal ini mungkin diniatkan agar umat Islam sebagai agama mayoritas di Indonesia bisa lebih fokus menjalankan ibadah puasa dengan tujuan untuk meningkatkan ketakwaan kepada Allah Swt. Selain itu, hal ini juga akan sangat berdampak pada sinergitas antara IQ, SQ, dan EQ peserta didik. Rencana ini memang terdengar sedikit subjektif, mengingat Indonesia bukanlah negara yang berlandaskan syariat Islam, namun terdapat berbagai macam latar belakang Agama yang mendiaminya. Jikapun rencana ini direalisasikan, maka pemeluk Agama lain juga bisa melakukan hal yang sama, yakni dengan fokus melaksanakan ibadah menurut ajaran masing-masing atau dengan melakukan hal-hal produktif lainnya.
Dunia pendidikan di Indonesia sebenarnya hanya membutuhkan road map saja, karena dalam falsafah pendidikan tanah air kita sudah disajikan dengan grand theory yang begitu luar biasa dari seorang bijaksana yang kemudian menjadi icon pendidikan kita, yakni Ki Hajar Dewantara. Tokoh Pendidikan Nasional ini menggagas Tri Sentra Pendidikan atau tiga pusat keberlangsungan pendidikan, yakni keluarga, sekolah, dan masyarakat. Ketiganya memiliki peran di dalam proses pendidikan, serta saling mengisi dan memerkuat satu dengan yang lainnya. Tanggung jawab pendidikan tidak hanya pada pemerintah semata, namun termasuk juga keluarga dan masyarakat. Walaupun sudah diamanahkan oleh konstitusi yang tertuang dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional menyatakan bahwa “Satuan pendidikan adalah kelompok layanan pendidikan yang menyelenggarakan pendidikan pada jalur formal, nonformal, dan informal pada setiap jenjang dan jenis pendidikan”. Namun nyatanya satuan pendidikan ini masih belum berjalan secara optimal karena masih adanya ketergantungan dan beban yang diserahkan satu sama lain antara ketiga pusat pendidikan tersebut.
Tri Sentra Pendidikan juga menyiratkan pesan bahwa keberhasilan pendidikan bisa dicapai bila terjadi kolaborasi dan kemitraan yang baik antar tiga unsur terkait. Dengan kata lain, prestasi dan keberhasilan yang diraih anak dalam pendidikan, sangat dipengaruhi oleh peran dan keharmonisan masing-masing unsur yang membentuk ekosistem pendidikan yang kondusif. Adapun hasil akhir dari implementasi Tri Sentra Pendidikan ini adalah keselarasan antara Intelligence Quotient pada pendidikan formal (sekolah), Spiritual Quotient pada pendidikan informal (keluarga), dan Emotional Quotient pada pendidikan non-formal (masyarakat).
Setelah ketiga lingkungan pendidikan tersebut mampu bersinergi dalam satu tujuan, makan selanjutnya adalah guru sebagai pemimpin di dalam kelas harus mampu bertindak Ing Ngarsa sung Tuladha (Di depan menjadi contoh); Ing Madya Mangun Karsa (Di tengah membangun keseimbangan); dan Tut Wuri Handayani (Di belakang memberikan dorongan). Artinya adalah, bahwa segala posisi dan segala sudut memiliki porsi sebagai lokomitif untuk menciptakan kelancaran transmisi ilmu pengetahuan.
Wallahua’alam bisshawab
Nama : M. Rajabul Gufron
Alamat : Pringgarata, Lombok Tengah, NTB
Pekerjaan : Awardee Beasiswa Pendidikan Indonesia LPDP 2016
Tinggalkan Balasan