Pernikahan Usia Dini Menjadi Penyebab Terjadinya Stunting

Ilustrasi stunting (ist)

LOMBOKita – Stunting merupakan keadaan yang mempengaruhi gizi kronis akibat kurangnya asupan gizi dalam jangka waktu panjang yang kemudian mengakibatkan terganggunya pertumbuhan pada anak.

Stunting juga menjadi salah satu penyebab tinggi badan anak terhambat, sehingga lebih rendah dibandingkan anak-anak seusianya. Sebagian besar masyarakat menganggap kondisi tubuh pendek merupakan faktor genetika dan tidak ada kaitannya dengan masalah kesehatan.

Faktanya, faktor genetika memiliki pengaruh lebih kecil terhadap kondisi kesehatan seseorang dibandingkan dengan faktor lingkungan dan pelayanan kesehatan.

Pada umumnya, stunting mulai terjadi saat anak masih berada dalam kandungan dan terlihat saat mereka memasuki usia dua tahun. Stunting memiliki gejala-gejala yang sangat mudah dikenali. Gejala stunting dapat berupa ciri- ciri sepeti wajah tampak lebih muda dari anak seusianya, Pertumbuhan tubuh dan gigi yang terlambat, memiliki kemampuan fokus dan memori belajar yang buruk dan masa pubertas yang lambat.

Saat anak menginjak usia 8-10 tahun, mereka cenderung lebih pendiam dan tidak banyak melakukan kontak mata dengan orang sekitarnya dan berat badan lebih ringan untuk anak seusianya.

Pihak Kementrian Kesehatan menegaskan bahwa stunting merupakan ancaman utama terhadap kualitas masyarakat Indonesia. Bukan hanya mengganggu pertumbuhan fisik, anak-anak juga mengalami gangguan dalam perkembangan otak yang dapat mempengaruhi kemampuan dan prestasi mereka. Stunting juga dapat mengakibatkan penurunan produktivitas dan kualitas SDM.

Dampak buruk lain yang akan dialami balita yang terkena stunting berupa menurunnya perkembangan otak, kecerdasan, gangguan pertumbuhan fisik, dan metabolisme tubuh. Selaini itu, anak yang menderita stunting akan memiliki riwayat kesehatan buruk karena pengaruh daya tahan tubuh yang juga buruk. Stunting bukan hanya menyerang fisik anak. Penderita stunting memiliki kemampuan kognitif di bawah rata-rata. Termasuk sangat berisiko terkena penyakit tidak menular (PTM) seperti jantung dan diabetes. Stunting juga bisa menurun ke generasi berikutnya bila tidak ditangani dengan serius.

Salah satu penyebab tingginya masalah stunting di Indonesia adalah karena tingginya angka pernikahan usia dini. Usia ayah dan ibu yang masih terlampau muda membuat risiko stunting menjadi meningkat.

Menurut Talcott Parsons, tindakan individu dan kelompok dipengaruhi oleh tiga sistem, yaitu sistem sosial, sistem budaya, dan sistem kepribadian. Artinya, Keputusan seseorang untuk melakukan pernikahan usia dini tidak bergantung dari kedudukannya dalam komunitas di lingkungan tersebut, atau apakah pilihan untuk menikah tersebut sesuai atau tidak dengan agama yang dianutnya, melainkan juga dari keberanian dari masing-masing pasangan untuk dapat menjalankan pernikahan tersebut sekalipun akan menimbulkan cemooh dari masyarakat sekitar.

Berdasarkan kutipan dari merdeka.com yang di publish pada 12 Januari 2019, World Health Organization (WHO) di Indonesia. “Hasil studi, organisasi kesehatan dunia atau WHO menyebutkan, salah satu masalah stunting karena tingginya pernikahan dini. Saat melakukan sebuah pernikahan, perempuan yang masih berusia remaja secara psikologis belumlah matang. Mereka bisa jadi belum memiliki pengetahuan yang cukup mengenai kehamilan dan pola asuh anak yang baik dan benar.

Hubungan lainnya, para remaja masih membutuhkan gizi maksimal hingga usia 21 tahun. Nah, jika mereka sudah menikah pada usia remaja,misalnya 15 atau 16 tahun, maka tubuh ibu akan berebut gizi dengan bayi yang dikandungnya. Jika nutrisi seorang ibu tidak mencukupi selama kehamilan, bayi akan lahir dengan berat badan lahir rendah (BBLR) dan sangat berisiko terkena stunting.

Pada wanita hamil di bawah usia 18 tahun, organ reproduksinya belum matang. Organ rahim, misalnya, belum terbentuk sempurna sehingga berisiko tinggi mengganggu perkembangan janin dan bisa menyebabkan keguguran.

Stunting disebabkan karena rendahnya akses terhadap makanan bergizi, rendahnya asupan vitamin dan mineral, dan buruknya keragaman pangan dan sumber protein hewani. Faktor ibu dan pola asuh yang kurang baik terutama pada perilaku dan praktik pemberian makan kepada anak juga menjadi penyebab anak stunting apabila ibu tidak memberikan asupan gizi yang cukup dan baik. Ibu yang masa remajanya kurang nutrisi, bahkan di masa kehamilan, dan laktasi akan sangat berpengaruh pada pertumbuhan tubuh dan otak anak.

Faktor lainnya yang menyebabkan stunting adalah terjadi infeksi pada ibu, kehamilan remaja, gangguan mental pada ibu, jarak kelahiran anak yang pendek, dan hipertensi. Selain itu, rendahnya akses terhadap pelayanan kesehatan termasuk akses sanitasi dan air bersih menjadi salah satu faktor yang sangat mempengaruhi pertumbuhan anak.

Menurut situs resmi Pemerintah Provinsi NTB yang di publish pada 26 Oktober 2020, Penanganan Gizi Buruk Terintegrasi (PGBT) menjadi salah satu senjata Provinsi Nusa Tenggara Barat dalam menangani masalah stunting dan gizi buruk. Integrasi yang dimaksud dapat terjalin melalui program unggulan Revitalisasi Posyandu yang melibatkan seluruh pihak.

Wakil gubernur NTB Dr. Hajjah Sitti Rohmi Djalilah yang akrab disapa Ummi Rohmi tmenjelaskan, seluruh pihak yang dimaksud meliputi masyarakat, Non Government Organizations (NGO), Pemerintah Provinsi, Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota hingga ke Pemerintah Desa yang menjadi unjung tombak penuntasan masalah Gizi Buruk dan Stunting. Ia meyakinkan, bahwa upaya pengentasan Gizi Buruk dan Stunting harus dilakukan gotong royong sebagai satu kesatuan hingga ke pemerintah desa. Posyandu keluarga yang ada di hampir seluruh dusun dapat dijadikan wadah untuk menyelesaikan masalah tersebut.

Provinsi NTB sendiri telah memiliki aplikasi Sistem Informasi Posyandu (SIP) besutan Dinas Komunikasi Informatika dan Statistik (Diskominfotik) Provinsi NTB. Sistem ini tidak saja digunakan sebagai pelaporan rutin administrasi Posyandu, tapi juga akan menjelma sebagai bank data. Menunya mencakup seluruh kebutuhan, baik bagi masyarakat maupun pengambil kebijakan dibidang kesehatan.

PGBT sendiri didahulukan karena sifatnya masalah akut, sementara kasus stunting merupakan masalah kronis. Dalam artian, jika masalah gizi buruk dapat ditangani dengan baik maka masalah stunting juga dapat turut tertangani.

Selain itu, ada juga pengadaan PITA LILA oleh Dikes dan Puskesmas yang diinisiasi oleh Puskesmas PGBT dalam membuat video edukasi skrining Pita LILA di masa Covid-19. Video tersebut dibagikan kepada pengasuh atau orangtua, serangkaian koordinasi dan advokasi dengan semua stakeholder terkait penemuan dini kasus, tindak lanjut dan dukungan pelaksana baik dari segi anggaran maupun kebijakan serta adanya surat edaran Dikes NTB terkait pelayanan gizi dalam masa pandemi Covid-19. Termasuk penanganan gizi buruk di masa pandemi dan penapisan mandiri menggunakan Pita LILA oleh pengasuh atau orangtua.

Ditulis oleh: Deina Asri Erawati

Refrensi:
Merdeka.com
Pemerintah provinsi NTB

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Belum ada komentar disini
Jadilah yang pertama berkomentar disini