Pendapat Hukum terhadap Kasus Amaq Sinta, “Jawara” yang Tumbangkan 4 Begal di Lombok Tengah
Mencermati persoalan hukum yang terjadi di Kabupaten Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat yang ramai diperbincangkan di media massa tentang kasus yang menimpa Amak Shinta yang diduga melakukan pembunuhan terhadap begal. Sementara di sisi lain oleh masyarakat dianggap sebagai upaya pembelaan diri, sehingga dianggap tidak pantas untuk dilakukan penyidikan dan dijadikan tersangka.
Maka melalui tulisan singkat ini saya memberikan pandangan hukum dari perspektif kajian teoritis, karena saya tidak mengetahui dan tidak memiliki bahan yang cukup (secara empiris) tentang fakta-fakta yang terjadi dalam konteks peristiwa antara Amak Shinta versus korban (Begal).
Berbekal pemahaman fakta yang terbatas itu, maka pandangan hukum saya akan dibagi menjadi 2 hal sebagai berikut.
1. Berdasarkan Kajian Pasal 48 KUH Pidana Yang berkaitan dengan Daya Paksa.
Konsep overmacht atau yang sering disebut sebagai daya paksa merupakan konsep yang sudah umum dalam hukum pidana Indonesia. Hal ini tampak pada Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang sudah mencantumkan hal tersebut di dalamnya. Pada Pasal 48 KUHP, dinyatakan bahwa:
“Barangsiapa melakukan perbuatan karena pengaruh daya paksa, tidak dipidana.”
Dalam Pasal 48 KUHP tersebut diatur mengenai daya paksa yang merujuk pada konsep daya paksa dalam Hukum Pidana. Memorie van Toelichting (Penjelasan Umum KUH Pidana ) menyatakan bahwa daya paksa merupakan suatu kekuatan, dorongan, ataupun paksaan yang tidak dapat ditahan atau dilawan.
Jika melihat pada rumusan dari Pasal 48 KUHP tersebut, maka dapat dipahami bahwa daya paksa menjadi salah satu alasan dalam hal penghapusan pidana.
Akan tetapi, tidak serta-merta daya paksa dapat menjadi alasan penghapus pidana. Hal ini dikarenakan terdapat batasan-batasan yang sekiranya harus dipenuhi agar suatu daya paksa dapat dianggap sebagai alasan penghapus pidana. Adapun daya paksa yang dapat diterima sebagai alasan penghapus pidana adalah daya paksa yang berasal dari kekuatan yang lebih besar, yaitu kekuasaan yang pada umumnya tidak dapat dilawan.] Berkaitan dengan kekuatan yang lebih besar tersebut, maka daya paksa dibagi menjadi 3 (tiga) bagian, yaitu:
a. Paksaan Mutlak
Pada keadaan ini, pelaku tindak pidana tidak dapat berbuat hal lain selain tindakan yang dipaksakan kepadanya. Artinya, pelaku tindak pidana tersebut melakukan sesuatu yang tidak dapat dihindari. Menurut Andi Hamzah, daya paksa mutlak atau yang bisa disebut juga sebagai vis absoluta bukanlah daya paksa sesungguhnya.
Hal ini tentu masuk akal karena dengan adanya paksaan mutlak, sesungguhnya orang tersebut tidak melakukan tindak pidana. Oleh karena itu, jika dalam suatu tindak pidana terdapat unsur paksaan mutlak, maka Pasal 48 KUHP ini tidak perlu diterapkan. Contohnya adalah orang yang melakukan tindak pidana, tetapi ia sebagai “alat”.
b. Paksaan Relatif
Dalam paksaan yang sifatnya relatif, dapat dipahami bahwa seseorang mendapat pengaruh yang tidak mutlak, akan tetapi meskipun orang tersebut dapat melakukan tindakan lain, ia tidak bisa diharapkan untuk melakukan tindakan lain dalam menghadapi keadaan serupa. Artinya, orang tersebut masih memiliki kesempatan untuk memilih tindakan apa yang akan dilakukannya meskipun pilihannya cukup banyak dipengaruhi oleh pemaksa.
Oleh karena itu, tampak adanya perbedaan dengan paksaan mutlak. Pada paksaan mutlak, segala sesuatunya dilakukan oleh orang yang memaksa, sedangkan pada paksaan relatif, perbuatan masih dilakukan oleh orang yang dipaksa berdasarkan pilihan yang ia buat.
3. Keadaan Darurat
Keadaan darurat seringkali disebut juga sebagai Noodtoestand. Keadaan darurat berkembang berdasarkan putusan Hoge Raad pada tanggal 15 Oktober 1923 yang dinamakan sebagai opticien arrest. Berdasarkan putusan tersebut, Hoge Raad membagi keadaan darurat menjadi tiga kemungkinan, yaitu adanya benturan antara dua kepentingan hukum, benturan antara kepentingan hukum dan kewajiban hukum, serta benturan antara dua kewajiban hukum.
Pada dasarnya, jika berbicara mengenai keadaan darurat, maka dapat dipahami bahwa dalam keadaan darurat, suatu perbuatan pidana yang dilakukan oleh seseorang terjadi atas pilihan yang ia buat sendiri.
Berdasarkan kajian teoritis di atas, maka jika Amak Shinta di dalam fakta fakta hukum terbukti melakukan pembunuhan terhadap begal (korban) karena alasan daya paksaan absolut, relatif dan darurat, maka tindakan Amak Shinta dapat dimasukan sebagai alasan penghapus pidana, sehingga dianggap tidak melakukan tindak pidana yang dapat diajukan dan dilanjutkan ke tahap penyidkan dan menjadikan Tersangka dalam pembunuhan, Atau jika terlanjur telah dilakukan penyidikan maka padanya patut dan pantas dihentikan perkaranya melalui pemberian SP3 (Surat Perintah Penghentian Penyidikan ).
Berdasarkan Kajian Pasal 49 KUH Pidana yang Menyangkut Pembelaan Terpaksa
Di dalam Hukum pidana, pasal 49 dikenal istilah “noodweer“ atau pembelaan terpaksa. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Pembelaan Terpaksa dibedakan menjadi dua, yaitu noodweer (pembelaan terpaksa) dan noodweer-exces (pembelaan darurat yang melampaui batas)
Pasal 49 KUHP merumuskan sebagai berikut:
Tidak dipidana, barang siapa melakukan perbuatan pembelaan terpaksa untuk diri sendiri maupun untuk orang lain, kehormatan kesusilaan atau harta Benda sendiri maupun orang lain, karena ada serangan atau ancaman serangan yang sangat dekat pada saat itu yang melawan hukum.
Pembelaan terpaksa yang melampaui batas, yang langsung disebabkan oleh keguncangan jiwa yang hebat karena serangan atau ancaman serangan itu, tidak dipidana.
Pembelaan terpaksa (noodwer) dilakukan oleh pelaku benar-benar dalam keadaan terpaksa dalam batas batas yang wajar, logis, dan dapat dipertanggungjawabkan demi mempertahankan diri, nyawa dan hartanya, tindakan pelaku adalah tindakan yang wajar dan terbatas untuk melumpuhkan lawan secara terukur (efisien dan efektif ).
Jika Amak Shinta terbukti melakukan perlawanan terhadap begal (yang terbunuh) tersebut secara wajar dan logis, maka tindakannya tersebut tidak dianggap sebagai tindakan pidana yang dapat diajukan ke ranah pidana sampai ke persidangan. Karena tindakan Amak Shinta bisa dimasukan kepada tindakan yang mengandung unsur “pembenar “.
Tindakan Amak Shinta tersebut oleh R. Soesilo , SH telah memenuhi unsur perbuatan yang dilakukan itu harus terpaksa dilakukan untuk mempertahankan (membela). Pertahanan itu harus amat perlu, boleh dikatakan tidak ada jalan lain. Di sini harus ada keseimbangan yang tertentu antara pembelaan yang dilakukan dengan serangannya. Untuk membela kepentingan yang tidak berarti misalnya, orang tidak boleh membunuh atau melukai orang lain.
Pembelaan atau pertahanan itu harus dilakukan hanya terhadap kepentingan-kepentingan yang disebut dalam pasal itu yaitu badan, kehormatan dan barang diri sendiri atau orang lain.
Harus ada serangan yang melawan hak dan mengancam dengan sekonyong-konyong atau pada ketika itu juga.
Namun demikian, yang perlu didalami selanjutnya, apakah ada serangan sekonyong-konyong atau mengancam ketika itu juga yang dilakukan oleh para begal terhadap Amak Shinta . Tapi, jika si pembegal dan barangnya (speda motornya) telah bisa diambil dan pembegal telah bisa dilumpuhkan, maka Amak Shinta tidak boleh membela dengan menambah lagi pemukulan dan penusukan lagi sampai menewaskan begal. Jika , karena pada waktu sudah tidak ada serangan sama sekali dari pihak pembegal tetapi masih dilakukan penusukan yang menewaskan, maka tindakan Amak Shinta tidak lagi termasuk dalam kategori alasan pembenar, tetapi masuk pada katagori Noodweer Exses yang mengandung unsur alasan pemaaf.
Pembelaan yang melampaui batas (noodweer exces), menurut Andi Hamzah, ada persamaan antara pembelaan terpaksa (noodweer) dengan pembelaan terpaksa yang melampaui batas (noodweer exces), yaitu keduanya mensyaratkan adanya serangan yang melawan hukum, yang dibela juga sama, yaitu tubuh, kehormatan kesusilaan, dan harta benda, baik diri sendiri maupun orang lainnya, akan tindakan seorang dianggap melampaui batas karena melakukan pembunuhan atau pengeniayaan terhadap orang yang sudah tidak berdaya (perampok/begal) yang sudah tidak berdaya, maka tindakan seperti ini dianggap sebagai Noodweer Exces yang bisa dilakukan penyidikan dan dipersangkakan melakukan perbuatan pidana. Akan tetapi tindakan pidana ini mengandung alasan pemaaf yang akan menghapus pidananya oleh majelis hakim yang menyidangkan.
Jadi problem yuridis dikaitkan dengan fakta fakta hukum (yang sebahagian masyarakat belum baca Berita Acara Hasil Pemeriksaan Amak Shinta), yaitu apakah tindakan Amak Shinta tersebut benar benar masuk pada katagori tindakan Noodweer yang memenuhi alasan pembenar sehingga tidak layak untuk dituduh melakukan perbuatan pidana pembunuhan, ataukah termasuk pada Noodweer Exect yang termasuk perbuatan pidana yang mempunyai alasan pemaaf.
Kesimpuannya, jika fakta fakta hukum yang ditemukan oleh kepolisian Lombok Tengah tentang adanya noodweer exces, maka tindakan Kepolisian Lombok Tengah yang tetap melakukan penyidikan terhadap kasus tersebut dapat dibenarkan secara ilmu hukum pidana.
Hanya saja demi menjaga kondusifitas dan keadilan sosiologis, maka penyidikan atas Amak Shinta yang diduga melakukan tindak pidana yang mengandung noodweer exces perlu dilakukan dengan memperhatikan kemanfataannya. Artinya jika penyidikan dan penyidangan Amak Shinta akan membawa ekses yang lebih luas, maka menurut Teori Jeremy Bentham ( Utility Theori), sebaiknya kasus ini dihentikan.
Akan tetapi jika pendekanan Kepastian hukum yang ingin dicapai melalui Teori Hans Kelsen, maka dapat saja kasus Amak Shinta tetap dilanjutkan, akan tetapi Amak Shinta tidak perlu dilakukan penahanan.
3. Jika, Maka, Dalam Mimpi
Semalem saya bermimpi, mimpi saya mirip kejadiannya dengan kasus di Lombok Tengah. Mimpi saya berada di suatu daerah namanya Kota Jogang yang memiliki jalan raya by pas Jalan Tempenyol. Nah, suatu malam di Jalan Tempenyol itu terdapat 4 orang bekal memakai 1 speda motor (berboncengan empat), menghadang seseorang di Jalan Tempenyol by Pas. Kebetulan yang dihadang itu adalah seorang raja begal yang juga sedang keluar malam mencari mangsa untuk berbegal. Maka terjadilah perkelahian 4 lawan 1, dan kebetulan raja begal ini yang memenangkan perkelahian sehingga 2 begal meninggal, dan yang duanya lagi kabur. Kemudian Polisi melakukan penyidikan dan sempat melakukan penyidikan atas peristiwa pembunuhan.
Pertanyaannya, apakah raja begal yang mau membegal dan berhasil melumpuhkan begal yang lain termasuk kategori Pasal 48 dan Pasal 49 KUH Pidana?
Kemudian tiba-tiba saya bangun dari mimpi. Bolehkah kemudian saya yang baru bangun berteriak, bahwa POLISI TIDAK BECUS?
Maka disinilah kita harus perlu berkepala dingin memberikan waktu pada penegak hukum untuk bekerja, para pembela untuk turut menganalisis kasus kliennya. Polisi harus jeli dan mampu melakukan penyidikan terlebih dahulu secara mendalam, dengan menggali track record para korban dan pelaku sehingga akan terungkat kebenaran materiel yang sesungguhnya.
Advokad juga harus berfikiran jernih dalam membela kliennya, agar tidak 100 persen percaya pada klien. Masyarakat juga harus berkepala dingin memberikan hukum bekerja secara netral.
Maka kita kita yang hanya baru sebatas membaca cerita dari koran dan massmedia, tentu tidak boleh terlalu cepat menyalahkan aparat penegak hukum, dan sebaliknya juga tidak terlalu cepat menyalahkan pelaku maupun korban.
Penyidikan secara teliti dan mendalam tetap perlu dilakukan untuk menembukan keadilan yang sejati.
Mataram 13 April 2022
Prof. Dr. H. Zainal Asikin, SH, SU
Tinggalkan Balasan