Merancang Arah Baru Penerimaan Negara di Tengah Laju Ekonomi Digital
Ditulis Oleh Zahratul Fitriana
LOMBOKita – Era digital telah membawa perubahan besar dalam berbagai sektor kehidupan, termasuk cara negara memperoleh pendapatan melalui pajak. Ketika pola konsumsi masyarakat beralih ke platform daring, transaksi ekonomi terjadi tanpa batas geografis, dan pekerjaan konvensional bergeser ke bentuk baru seperti freelance digital dan konten kreator, maka negara pun dituntut untuk menyesuaikan diri. Tema “Masa Depan Penerimaan Negara Indonesia di Era Digital” mengajak kita untuk melihat bagaimana digitalisasi telah memengaruhi sistem perpajakan, serta bagaimana pemerintah perlu merancang ulang pendekatan fisikalnya agar tetap relevan dan efektif.
Penerimaan negara khususnya yang bersumber dari pajak, merupakan elemen vital dalam mendukung pembangunan nasional.
Pajak menjadi sumber utama pembiayaan infrastruktur, pendidikan, kesehatan, serta layanan publik lainnya. Namun, perubahan karakteristik ekonomi akibat digitalisasi membawa tantangan tersendiri. Banyak aktivitas ekonomi kini berlangsung secara daring dan tidak selalu tercatat dalam sistem formal yang selama ini menjadi basis pemungutan pajak. Dalam kondisi ini, negara berpotensi kehilangan sumber penerimaan jika tidak segera melakukan penyesuaian sistem perpajakannya.
Perkembangan teknologi telah menciptakan sektor-sektor ekonomi baru yang tidak sepenuhnya dapat dijangkau oleh regulasi perpajakan konvensional. Misalnya, transaksi di marketplace, jasa digital lintas negara, bisnis berbasis aplikasi, serta pendapatan dari aset kripto sering kali luput dari pantauan sistem administrasi pajak tradisional. Di sisi lain, perusahaan-perusahaan digital global yang beroperasi di Indonesia juga menghadirkan dilema tersendiri karena aktivitas ekonominya berada di ruang virtual, namun memperoleh keuntungan dari pasar domestik.
Meski demikian, pemerintah Indonesia telah menunjukkan langkah awal dalam menghadapi tantangan ini. Salah satu kebijakan yang menonjol adalah penerapan pajak pertambahan nilai (PPN) terhadap perdagangan melalui sistem elektronik (PMSE) yang melibatkan perusahaan digital asing. Selain itu, transformasi administrasi perpajakan melalui penerapan sistem digital seperti e-faktur, e-bupot, dan pelaporan daring merupakan bagian dari reformasi struktural menuju sistem yang lebih responsif terhadap perkembangan zaman. Namun, keberhasilan kebijakan ini bergantung pada konsistensi, cakupan, dan kecepatan adaptasi institusi perpajakan terhadap realitas digital yang terus berubah.
Yang perlu disadari bersama adalah bahwa digitalisasi bukanlah ancaman terhadap penerimaan negara, melainkan peluang besar jika dikelola dengan baik. Basis data digital dari transaksi elektronik dapat memberikan informasi yang jauh lebih rinci dan akurat dibandingkan metode konvensional. Dengan memanfaatkan big data dan kecerdasan buatan, negara dapat mengembangkan sistem deteksi dini untuk mengidentifikasi potensi pajak secara otomatis, sekaligus meningkatkan efisiensi pengawasan dan kepatuhan pajak. Selain itu, integrasi data antara instansi seperti Direktorat Jenderal Pajak, Otoritas Jasa Keuangan, dan penyedia platform digital dapat menjadi kunci terciptanya ekosistem fiskal yang transparan.
Namun, aspek teknis saja tidak cukup untuk menjamin keberhasilan masa depan penerimaan negara di era digital. Diperlukan pendekatan yang lebih inklusif dan humanis, terutama dalam membangun kesadaran dan literasi pajak di masyarakat. Banyak pelaku usaha digital yang belum memahami kewajiban perpajakan mereka, baik karena kurang informasi maupun karena sistem yang dianggap rumit. Oleh karena itu, edukasi yang berkelanjutan dan penyederhanaan proses perpajakan menjadi langkah penting untuk mendorong kepatuhan sukarela.
Pemerintah juga perlu menciptakan kebijakan yang adil dan proporsional agar tidak menimbulkan beban berlebih bagi pelaku ekonomi digital, khususnya yang masih dalam tahap berkembang. Keadilan fisikal harus menjadi prinsip utama dalam reformasi perpajakan digital, agar negara memperoleh penerimaan yang layak tanpa menghambat pertumbuhan inovasi dan kewirausahaan. Pajak seharusnya tidak menjadi penghalang, melainkan instrumen yang mendukung ekosistem digital yang sehat dan berdaya saing.
Dalam pandangan jangka panjang, masa depan penerimaan negara tidak hanya terletak pada kemampuan negara memungut pajak, tetapi juga pada kepercayaan masyarakat terhadap sistem perpajakan itu sendiri. Ketika masyarakat merasa sistemnya adil, mudah diakses, dan transparan, maka kesadaran untuk berkontribusi melalui pajak akan tumbuh dengan sendirinya.
Di era digital yang serba cepat dan terbuka, negara harus hadir tidak hanya sebagai pemungut pajak, tetapi juga sebagai fasilitator ekonomi yang adaptif, terbuka, dan bertanggung jawab.
Transformasi digital telah mengubah wajah ekonomi Indonesia. Maka, sistem penerimaan negara pun harus berubah mengikuti arah angin zaman. Melalui kolaborasi lintas sektor, inovasi teknologi, dan keberpihakan pada prinsip keadilan fiskal, Indonesia memiliki peluang besar untuk memperkuat pondasi penerimaan negara dalam menghadapi masa depan. Dengan langkah yang tepat, digitalisasi bukan hanya akan meningkatkan efisiensi perpajakan, tetapi juga memperluas partisipasi publik dalam membiayai pembangunan nasional secara berkelanjutan.
