MDSM Thohir Yasin dan Generasi 4.0
Berbicara tentang pondok pesantren, sama halnya berbicara tentang sekelompok masyarakat yang berusaha berjuang mengembalikan dan mengenalkan nilai nilai ajaran Islam melalui sistem pendidikan para pendahulu. Tidak jarang para pengelola pesantren berusaha tidak aktif dalam perkembangan teknologi, sebagai langkah menjaga nilai nilai yang sudah diyakini mampu merubah akhlak anak didiknya.
Usaha untuk mempertahankan tradisi pembelajaran, tradisi para pendahulu. Sering menimbulkan stigma kaum pesantren sebagai komunitas terbelakang dan lain sebagainya. Padahal tidak bisa kita pungkiri, sejak fase awal keberadaan pesantren, pesantren selalu bisa ber konstribusi pada setiap perubahan kebijakan seorang kepala Negara. Malahan banyak para santri menjadi pemimpin tertinggi suatu bangsa dan negara.
Jika mengacu pada stigma diatas, maka sangat tidak relevan ketika kaum santri dianggap sebagai kaum terbelakang dsb. Tapi ini hal yang tidak bisa kita pungkiri, alumni pesantren sering agak gaptek dimasa awal-awal mereka keluar dari pesantren, tapi tempat lebihnya. Disaat alumni pesantren merasa tertinggal dalam dunia teknologi, maka alumni pesantren akan mengejar ketertinggalan dalam teknologi dalam waktu yang relatif singkat.
Kebiasaan mereka berkompetisi, bermusyawarah, berdebat dan menghadapi tantangan. Inilah modal utama alumni pesantren mampu melampaui kemampuan menguasai teknologinya masyarakat non pesantren. Sehingga tidak jarang alumni pesantren menjadi juara di bidang teknologi, padahal saat di bangku pesantren, tidak pernah sama sekali mengenal hal tersebut.
Sebagai pengelola pesantren, kondisi diatas sudah menjadi buah bibir. Dimana banyak santri yang terkenal dibidang teknologi dsb. Akan tetapi, setiap kompetisi tidak selamanya menjadi daya tarik para alumni pesantren. Terutama kompetisi dalam teknologi. Sehingga tidak jarang alumni pesantren bingung disaat akan masuk ke Bank atau Mall maupun hotel. Bukan karena mereka tidak bisa, akan tetapi mereka merasa tidak pentingnya hal-hal teknis yang berkaitan dengan teknologi dan kemajuan industri. Kelompok ini lebih sering menjadi komunitas pencari jati diri, berusaha masuk pada ruang metafisik bukan fisika.
Hal inilah yang melatarbelakangi pondok pesantren Thohir Yasin mengembangkan sistem salaf modern. Salaf lebih dimaknai sebagai tradisi dan visi perjuangan. Dengan santri belajar tradisi salaf, kitab para ulama terdahulu. Diharapkan santri mampu menjaga ajaran ajaran yang memang benar alurnya. Dan kedepan santri bisa memaparkan nilai dibalik ijtihad dan pendapat para ulama terdahulu. Sehingga sebuah ajaran tidak ditinjau pada sebuah pilihan antara hitam dan putih.
Selain salaf sebagai sebuah vis dan tradisi, pondok pesantren Thohir Yasin menjadikan term modern sebagai langkah teknis menjalankan setiap visi salaf tersebut. Dimana ada sebuah tantangan nyata, disaat kita berharap santri menguasai nilai salaf, padahal kita sendiri mengakui kalau kita sendiri sedang berada di era modern (era 4.0). Satu masa yang tidak lagi tergantung pada cara cara manual. Melainkan sudah masuk di era serba digital.
Akan sangat lucu, disaat pesantren memberikan doktrin masa lalu pada generasi baru. Maka doktrin bisa saja mengutip ungkapan dan pendapat ulama terdahulu, akan tetapi menggunakan media dan sistem terbarukan. Salah satu langkah pesantren Thohir Yasin menyambut era 4.0 adalah dengan teknis menerapkan hal@hal yang berbau digital pada setiap instrumen yang ada di pondok pesantren
Misalkan saja terkait absensi, pembelanjaan, izin pulang dan denda pelanggaran. Ponpes Thohir Yasin menggunakan sistem “Onecard”.
Satu kartu yang multifungsi, kartu yang berisi nilai mata uang, rekam medis, daftar hadir, pelanggaran dan sanksi. Dengan sistem Onecard ini, kita bisa meminimalisir pengeluaran operasional Lembaga. Dan yang lebih utama adalah, pondok pesantren bisa mengendalikan jumlah nilai besaran uang yang dipakai santri pada tiap harinya.
Pondok bisa melakukan kontroling dalam segala hal, Terutama dalam hal yang berkaitan dengan kebutuhan para santri diasrama. Selain itu, hal paling utama adalah adanya sebuah proses pengenalan awal pada setiap santri tentang praktisnya era digital. Harapan kita, kelak tidak ada lagi cerita seorang santri mesti harus meluangkan waktunya lagi untuk belajar hal hal teknis di masyarakat. Justru santri menjadi kelompok masyarakat terdepan menyambut kemajuan era digital. Sehingga santri lah generasi 4.0 yang ideal. Wallahu A’lam.
**AHMAD PATONI SS. M.Pd.
Kepala Madrasah Diniyah salaf Modern
Thohir Yasin Lendang Nangka Masbagik Lombok.
Tinggalkan Balasan