Maulana Syeikh, NW dan Islam Kebangsaan
“Apa sebabnya keluarga Nahdlatul Wathan sesalu mengatakan pokoknya NW, pokok NW, Iman dan Taqwa, karena NW artinya membangun negara, membangun tanah air. Ini perlu diresapi setiap dan perkuat oleh tiap-tiap bangsa Indonesia pada umumnya, dan yang ada di NTB pada umumnya. Kita merebut kemerdekaan dari tangan penjajah Belanda untuk membangunnya, bukan merebut sekedar merebut, tetapi merebut untuk membangunnya, itulah sebab pokoknya membangun Negara ini.
Pokoknya NW adalah pokoknya dalam perjuangan kita semua membangun Negara ini. Dengan apa kita membangun, pokok NW, iman dan taqwa. Sebagai seorang Islam membangunnya dengan menggunakan iman dan taqwa. Harus dimengertikan kalimat iman dan taqwa ini, bukan hanya artinya sembahyang , puasa, zakat, haji, dan sebagainya. Apa yang terkandung dalam iman dan taqwa , yaitu menyelamatkan umat dari dunia dan akhirat.”
(Pidato Maulana Syaikh dalam Muktamar VIII NW, Muslihan Habib 2013: 30-31)
Hubb al-wathan minal iman, cinta tanah air dan bangsa bagian dari iman. Sebuah ungkapan bahkan ada yang meyebutnya berasal dari hadis Nabi Muhammad saw, menjadi panutan kita (NW) sebagaimana yang diajarkan oleh para Ulama (Maulana Syaikh), bagaimana mencintai bangsa dan tanah air kita seperti sekarang ini. Bahkan, Nahdlatul Wathan (NW) meneguhkan NKRI adalah harga mati.
Pada tanggal 22 Agustus 1937, Maulana Syekh, mendirikan sebuah organisasi Islam yang memiliki semangat kebangsaan yang memiliki ruang dalam nilai-nilai keislaman, yaitu Nahdlatul Wathan (NW). Berselang 25 tahun setelah KH. Ahmad Dahlan mendirikan Muhammadiyah dan 10 tahun ketika Hadratussyek KH. Hasyim ‘Asy’ari mendirikan Nahdlatul Ulama (NU).
Kondisi di mana pada akhir abad 19 dan awal abad ke 20 adalah sebuah penuh dengan pergolakan yang mana kolonialisme seduah lama bercokol khusunya di kawasan Asia dan Afrika yang mayoritas penduduknya mayoritas Muslim. Memasuki abad 20 perjuangan mengalami perubahan, yaitu tidak hanya perlawanan terhadap kolonialisme, akan tetapi juga mengejer ketertinggalan dan keterbelakangan akibat kolonialisme. Dalam dunia Islam dikenal dengan Pan-Islamisme yang dipelopori oleh Jamaludin al Afgani yang dianggap sebagai Bapak Islam Modern dan Muhammad Abduh (Paox Iben : Nahdlatul Wathan, Visi Kebangsaan dan Islam Kultural, Opini). Spirit semagat ini yang dibawa Maulana Syaikh dalam perlawanannya melawan kolonialisme di Lombok.
Sejarah mencatat, Maulana Syaikh, TGKH. Muhammad Zainuddin Abdul Madjid adalah pelopor serangan terhadap NICA (Netherlands Indies Civil Administrations), di Selong pada tahun 1946 dan tercatat juga sebagai pejuang fisik maupun di belakang layar pada masa revolusi kemerdekaan pada tahun 1945-1949 (Muhammad Noor, dkk, 2014; 225).
Pertempuran melawan NICA di Selong pada 7 Juni 1946 adalah pertempuran yang paling heroik dan patriotik yang dilakukan oleh masyarakat Sasak dibawah asritek perang TGKH. Muhammad Zainuddin Abdul Madjid. Dengan kekuatan dari para santri Madrasan NWDI serta membangun “Gerakan al-Mujahidin” yang kemudian bergabung gerakan-gerakan rakyat lainya untuk melawan kebegisan NICA. Melibatkan Madrasah NWDI dan NBDI sebagai pusat pergerakan kemerdekaan, tak heran jika pada penjajahan Jepang, Madrasah tersebut diminta untuk dibubarkan dan ditutup keberadaannya. Karena diangga sebagai tempat menyusun taktik dan strategi. Penamaan madrasah ini pun, memang sejak awal dimaksudkan sebagai basis pengajaran agama dan basis perjuangan untuk melawan penjajah (Dewan Riset Daerah Prov. NTB, 2014).
Tentu saja, penjajahan ini tidak dibiarkan begitu saja oleh Tuan Guru Lombok pada waktu itu. Tidak tinggal diam juga para pemuka agama di Lombok, para Tuan Guru memberikan perlawan sengit terhadap para kolonial. Perlawan yang dilakukan oleh Tuan Guru Haji Ali Batu, mulai pada tahun 1891-1982 melawan Anak Agung Ngurah Ketut Karang Asem. Walaupun pada akhirnya Tuan Guru Haji Ali Batu tewas di dalam pertempuran. Kemudian dilanjutkan oleh Guru Bangkol. Perlawanan para Tuan Guru melawan tentara NICA di markasnya pada 7 Juni 1946 di kota Selong yang dipimpin oleh Tuan Guru Haji Muhammad Faisal dengan dibantu oleh Tuan Guru Muhammad Zainul Madjid dan didukung oleh para santrinya, yaitu Ahmad Nursaid, Dahmuruddin, Mursyid, Sayyid Saleh, Umar, M. Thoyyib, Saparul Khair serta kekuatan rakyat Pringgesela.Yang dalam pertempuran tersebut menewaskan Tuan Guru Muhammad Faisal sendiri.
Tentara NICA, pemerintahan sipil Belanda yang tergabung dalam angkatan bersenjata negara-negara sekutu yang menang di masa perang dunia II, terkenal akan keganasannya dalam pertempuran digempur pada malam 7 Juni di markasnya secara mendadak dengan menggunakan senjata klewang, bambo runcing, dan golok, yang mengakibatkan Tuan Guru Haji Muhammad Faishal dan dua santri NWDI, yaitu Sayyid Muhammad Saleh dan Abdullah gugur sebagai pahlawan bangsa.
Islam Kebangsaan
Perjuangan para Tuan Guru inilah dalam membela bangsa dari penjajahan menjadi nilai-nilai dasar ke-NW-an kita, yang sangat terkait dengan nilai-nilai kebangsasan. Oleh karenanya, orientasi NW menurut Azyumardi Azra, bertumpu pada mensinergikan dan memadukan antara agama dan negara. Bahkan menurut TGKH. Muhmmad Zainuddin Abdul Madjid, yang dikutip oleh Azra, NW memiliki dua makna kandungan filosifis sekaligus, yaitu membangun agama dan negara. Artinya agama dan negara di posisikan dalam satu tarikan nafas, yaitu membangun agama, berarti membangun negara juga, begitu juga sebaliknya, membangun bangsa berarti membangun agama.
Dalam hal ini, pandangan Subhi, politik NW merupakan sintesa dari ke-Islam-an dan ke-bangsa-an. Sintesa tersebut dipraktekkan secara luwes yang kemudian melahirkan sikap adaptif-akomodatif yang membuat NW bertahan dalam perunahan dunia yang begitu cepat. Praktek keluwesan tersebut matang di atas tungku ideology, agama dan kebangsaan, ke-Islam-an dan ke-bangsa-an yang berpijak pada tradisi.
Membangun bangsa sekaligus membangun agama menjadi karakter dasar NW dalam kemunculannya di bumi Indonesia ini. Memunculkan credo atau slogan yang terkenal di kalangan Nahdhiyin, yaitu “Pokoknya NW, Pokok NW, Iman dan Taqwa”. Credo ini menurut Muslihan Habib, memiliki nilai yang sangat fundamental dalam menggelorakan dan membangkitkan semangat perjuangan NW sekaligus menanamkan nilai-nilai dasar keislaman bagi murid dan kaum Nahdiyin (Muslihan Habib, 2013; 2-3).
Secara jelas Maulana Syaikh menjelaskannya, sebagaimana petikan podato Maulana Syaikh pada Muktamar VIII – yang dikutip di atas -, karena baginya merebut kemerdekaan dari penjajahan bukanlah hanya sekedar merebut, melainkan merebut untuk membangunnya. Oleh karenanya, NW berarti membangun bangsa dan negara. Pembangunan yang dilakukan NW berdasarkan iman dan taqwa. Yang kemudian iman dan taqwa diartikan tidaklah berarti sembahyang, puasa, berzakat, haji, melainkan mengandung arti menyelamatkan umat manusia dari dunia dan akhirat (fiddunnya wal akhirat) (Muslihan Habib, 2013; 5).
Konsep inilah yang dijadikan sebagai etos dan kekuatan bersama untuk menopang kebersamaa dalam rumusan cinta tanah air dan bangsa merupakan bagian dari iman. Apalagi akhir-akhir ini Globalisasi dan terorisme adalah dua ancaman besar yang di hadapi oleh bangsa ini, khusunya NW. Globalisasi menggerus kemandirian dalam mengelola sumber daya alam dan ekonomi. Sedangkan teroris, menggerogoti hakikak kebangsaan kita yang plural-humanistik dan cinta pada perdamaian.
Tidak diragukan lagi bahwa pemberian gelar sebagai pahlawan nasional tepat kiranya. Oleh karena itu, Nahdlatul Wathan untuk Indonesia sebuah penegasan terhadap komitmen berbangsa, dan NKRI harga mati. Selamat Hari Pahlawan 10 November. Wallahu’alam Bissawab
Tinggalkan Balasan