KITA adalah SANTRI, SANTRI adalah KITA

Merawat Ingatan Sejarah untuk Memperkokoh Keindonesiaan

Diskusi tentang nilai kebangsaan di Pesantren Nahdlatul Wathan, tidak lepas dari proses sejarah Nahdlatul Wathan Diniyah Islamiyah (NWDI, sejak 1937), dan Nahdlatul Banat Diniyah Islamiyah (NBDI, sejak 1943), dengan tokoh sejarah Maulanasyaikh TGKH Muhammad Zainduddin Abdul Madjid.

 

Sebelum kemerdekaan, melalui NWDI dan NBDI, beliau menyadarkan tentang pentingnya menegakkan keimanan dan ketakwaan. Strategi utama penyadaran tersebut adalah pendidikan.

Kondisi keterjajahan tidak memungkinkan berlangsungnya pendidikan dalam rangka menegakkan keimanan dan ketakwaan, sehingga merdeka sebagai bangsa menjadi syarat pertama.

Awal kemerdekaan, beliau menggerakkan santri dan laskar rakyat dalam mempertahankan kemerdekaan, dengan menyerbu benteng pertahanan tentara NICA di Selong (1946), sehingga gugurnya TGH Muhammad Faisal Abdul Madjid (dimakamkan di TMP Rinjani Selong). Masa kemerdekaan dan pembangunan, beliau menginisiasi, mengagendakan, dan menggerakkan program pencapaian kesejahteraan melalui modernisasi pendidikan pesantren (sekolah-madrasah; penyesuaian kurikulum), mengakselarasi program pembangunan secara sinergis dengan pemerintah.

Jadi, keseluruhan pikiran dan tindakan Maulanasyaikh sejak sebelum Indonesia merdeka, awal kemerdekaan, hingga era pembangunan mengisi kemerdekaan merupakan keseluruhan bentuk tanggung jawab sejarah cinta tanah air dan bangsa.

Demikian, ringkasan ceramah singkat Ketua YPPH PPD NW Pancor, Bapak HM. Jamaluddin, selaku narasumber pada Halaqah Kebangsaan Pena Bangsa di Hari Santri 22 Oktober 2019, yang dikemas dalam topik “Kiprah Pesantren Nahdlatul Wathan dalam Penanaman, Penumbuhan, dan Pengambangan Nilai Kebangsaan”.

Di antara sekian catatan sejarah yang perlu diingat, dikuatkan, dan terus ditransformasikan adalah kewajiban sekaligus hak menuntut ilmu bagi pria dan wanita, sehingga Maulanasyaikh merasa bertanggung jawab menyediakan fasilitas yang sama antara keduanya.

Lahirlah NBDI, setelah beberapa tahun sebelumnya melahirkan NWDI. Sejak saat itu, sudah muncul ide tentang demokratisasi pendidikan dalam bentuk kesetaraan pendidikan antara pria dan wanita.

Narasumber lain, TGH Salimul Jihad, salah seorang santri Pesantren Nahdlatul Wathan dalam ceramah bertajuk, ”Santri di Era Industri 4.0”, menguatkan ingatan tentang siapa sesungguhnya santri?

Santri adalah setiap orang yang kesehariannya berkiprah di pesantren, apakah untuk menuntut ilmu, membagi ilmu, dan mendukung proses keduanya.

TGH Salim mengidentifikasi tiga nilai yang harus dikuatkan oleh santri: keislaman, karena pesantren di Indonesia lahir dalam tradisi agama Islam; kebangsaan, karena penegakan nilai keislaman membutuhkan konteks bangsa dan kebangsaan; dan kesantrian dengan ciri sabar, dinamis, dan terbuka.

Secara spesifik, dari sedikit yang dikenal, TGH Salim menyebut dua figur yang memiliki kesabaran, sikap dinamis dan terbuka, yakni sosok Maulanasyaikh dan TGB HM. Zainul Majdi.

Secara khusus, santri di era ini, menurut TGH Salim, harus merefleksi sikap sabar kedua sosok tersebut mengingat era ini jauh lebih kompleks disbanding era sebelumnya.

Santri juga harus dinamis sesuai dengan dinamika zaman yang terus bergerak maju. Lalu, terbuka dengan berbagai perbedaan, dan menjadikan perbedaan sebagai modal utama membangun kekuatan untuk mencapai tujuan bersama.

Nara sumber ketiga, Profesor H Masnun menyebut tiga tokoh yang lahir dalam tradisi pesantren, yakni Sang Kyai (Kyai Haji Hasyim Asy’ari), Sang Pencerah (Kyai Haji Ahmad Dahlan), dan Sang Maulana (Kyai Haji Muhammad Zainuddin Abdul Madjid).

Menurut Prof. H. Masnun, ketiga sosok ini (selain sosok-sosok lainnya), adalah tokoh ilmuan dan pemimpin yang lahir dari pesantren pada zamannya.

Sebagai ilmuan, ketiganya melahirkan karya-karya besar di bidang ilmu keagamaan Islam, yang dengan kiprah keilmuan tersebut adab keagamaan islam menjadi lebih akselaratif dan membumi di tanah air Indonesia. Sebagai pemimpin, ketiganya menginisiasi dan menggerakkan agenda-agenda penyadaran kebangsaan sejak merebut kemerdekaan, mempertahankan, dan mengisi kemerdekaan.

Tidak berlebihan jika pemerintah menganugerahkan ketiganya gelar Pahlawan Nasional

Selain itu, catatan penting disampaikan oleh Prof. H Masnun, ketiga tokoh tersebut, sebagai ilmuan dan pemimpin pada zaman yang berat dan sulit mampu berkarya untuk bangsa, dan memimpin moderniasi peradaban. Lalu apa yang dapat kita perbuat di era modern sekarang, dengan menyebut diri generasi millennial?

Terakhir, moderator (HM Khirjan Nahdi) memberikan kesempatan kepada salah satu santri dan masyayikh MDQH NW Pancor untuk membingkai ketiga inti ceramah pada halaqah kebangsaan ini, bahwa kebangsaan di pesantren itu adalah rangkaian peristiwa pemikiran dan tindakan.

Hal pertama yang tampak adalah hal-hal fisik, seperti tampilan fisik (pakaian, ucapan, dan tradisi sosiokultural); selanjutnya hal-hal non fisik seperti ideologi (beliau menyebutnya mazhab). Apa yang diajarkan dan diwariskan oleh Maulanasyaikh sudah benar adanya, dan jangan mengikuti ideologi yang tidak jelas rangkaiannya dengan sumber-sumber ilmu kegamaan Islam dari Nabi SAW.

Berdasarkan ketiga catatan ringkas dan satu catatan penutup pada halaqah kebangsaan ini, dipahami bahwa santri itu adalah saya, dan kita semua, karena keseharian saya, keseharian kita di pesantren. Karenanya, semua kita harus bertanggungjawab dalam semua kegiatan dan program di lingkungan pondok kita.

Pesantren ibarat rumah tangga, pimpinan pesantren adalah orang tua kita, santri adalah anak-anaknya (pesan seorang orang tua). Jika, rumah tangga memiliki kegiatan, dan orang tua mengajak anak-anaknya untuk menyukseskannya, betapa sedih dan kecewanya orang tua bila anak-anaknya (para santri) tidak menghiraukannya.

Selamat Hari Santri 2019

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Belum ada komentar disini
Jadilah yang pertama berkomentar disini