Jangan Golput, Demokrasi Tak Akan Kuat, Coblos Saja
Tidak dapat dipungkiri, dalam setiap pemilihan umum (Pemilu) banyak masyarakat yang melakukan Golput sebagai bentuk protes terhadap pelaksanaan Pemilu atau sebagai bentuk kekecewaan pada pelaksanaan pemerintahan sebelumnya.
Menelisik lebih dalam, Golput bukan berarti tidak memberikan suara, tetapi Golput merupakan sebuah gerakan moral yang dicetuskan pada tanggal 3 Juni 1971 di Balai Budaya Jakarta oleh Arief Budiman bertepatan dengan 1 bulan sebelum dilaksanakannya Pemilu pertama di era Orde Baru. Tujuan Golput sendiri pada awalnya bukan untuk mencapai kemenangan politik, tetapi lebih kepada melahirkan tradisi dimana ada jaminan perbedaan pendapat dengan penguasa dalam situasi apapun.
Sejak Pemilu pertama pada tahun 1955 sampai Pilpres Tahun 2014, diketahui tingkat Golput sebanyak 29,1% dan tingkat partisipasi masyarakat sebanyak 70,9%. Berbeda halnya dengan Pemilu pertama pada tahun 1955 di mana partisipasi masyarakat sebesar 91,1% dan tingkat Golputnya hanya sebesar 8,6%. Naiknya tingkat Golput pada tiap Pemilu menimbulkan kekhawatiran bagi tumbuhkembangnya demokrasi di Indonesia.
Semakin tinggi tingkat Golput menunjukkan bahwa semakin rendahnya tingkat partisipasi masyarakat dalam proses politik dan demokrasi.
Jika dibiarkan terus menerus, proses demokrasi di Indonesia tidak akan dapat berjalan dengan baik, tidak akan mengalami kemajuan bahkan akan menimbukan “Demokrasi Beku” seperti yang dikemukakan oleh Sorensen, di mana proses demokrasi mengalami pembusukan dikarenakan ketidakmampuan pemerintah untuk melakukan perubahan sosial, politik dan ekonomi sesuai dengan tuntutan reformasi.
Berbicara mengenai apakah Golput diperbolehkan atau tidak, sesuai dengan Pasal 308 UU No. 8 Tahun 2012 tentang Pemilu, pemerintah memberikan ruang bagi penegak hukum untuk menjerat siapapun yan mengajak orang lain untuk Golput. Tetapi jika seseorang memutuskan untuk Golput karena pilihannya sendiri, maka yang bersangkutan tidak melanggar hukum apapun. Kemudian dalam Pasal 19 ayat 1 UU No.10 Tahun 2008 tentang Pemilu juga disebutkan bahwa setiap WNI yang telah berumur 17 tahun atau lebih diberikan hak memilih dalam Pemilu, apakah ia menggunakan haknya untuk memilih ataupun tidak memilih itu adalah kebebasan dari individu itu sendiri. Jadi apabila ada masyarakat yang memilih untuk Golput dalam Pemilu maka itu adalah keputusannya sendiri terlepas dari berbagai alasan yang melatarbelakangi keputusan tersebut.
Menjelang pesta demokrasi yang diadakan serentak pada tanggal 27 Juni 2018 mendatang, terdaftar sejumlah 171 daerah yang terdiri dari 17 provinsi, 39 kota dan 115 kabupaten yang akan menyelenggarakan Pilkada di Tahun 2018 ini. Dengan jumlah calon kandidat sebanyak 1.146 orang yang terdiri dari 1.045 calon laki-laki dan 101 orang calon perempuan. Menurut KPU RI, Pilkada serentak 2018 akan lebih besar daripada Pilkada sebelumnya, sehingga membutuhkan persiapan yang lebih matang untuk meminimalisir hal-hal yang tidak diinginkan saat pesta demokrasi tersebut berlangsung.
Mengawal Pilkada serentak ini, masing-masing calon kandidat juga harus mampu menarik minat masyarakat baik dengan cara kampanye maupun kegiatan lainnya untuk meminimalisir terjadinya Golput saat Pilkada nanti. Tingginya tingkat Golput juga dipengaruhi berbagai faktor, baik regulasi, konflik dalam partai politik, serta para calon kandidat yang tidak memiliki nilai jual di mata masyarakat. Partisipasi politik merupakan aspek penting dalam proses demokrasi. Semakin tinggi partisipasi masyarakat menunjukkan tingginya ketertarikan masyarakat untuk turut serta dalam proses pelaksanaan pemerintahan serta sebagai alat kontrol bagi jalannya sistem pemerintahan.
Dapat kita bayangkan jika tidak ada satupun masyarakat yang berpartisipasi dalam proses politik, maka pemerintah akan menuju pemerintahan yang otoriter, yang dapat bertindak sewenang-wenang tanpa memedulikan kepentingan rakyatnya.
Untuk itulah, meskipun kita mempunyai banyak alasan yang memungkinkan kita untuk Golput saat Pemilu, lebih baik kita coblos saja salah satu kandidat yang menurut kita lebih baik dari kandidat yang lain dengan mempertimbangkan visi dan misinya bukan hanya memilih karena faktor kekerabatan atau karena adanya politic money yang dilakukan oleh kandidat tersebut.
Golput bukan cara yang tepat untuk proses terhadap kinerja pemerintah, Golput hanya akan mencederai proses politik dan demokrasi. Sama seperti kata Pidi Baiq dalam novel dan film fenomenalnya Dilan, “Jangan Golput itu berat, demokrasi tak akan kuat, biar coblos saja”. (Awl 01/18)
Penulis : Ni’matul Aulia
Program Studi Ilmu Pemerintahan
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Muhammadiyah Malang
Tinggalkan Balasan