Dari Kapur ke Klik: Menimbang Gaya Guru Old School dan New School dalam Dunia Pendidikan Kini

Ditulis oleh: Muhammad Rajabul Gufron
Dosen Universitas NW Mataram

Perubahan zaman tak bisa dielakkan. Begitu juga dalam dunia pendidikan. Dulu, kita mengenal guru sebagai sosok yang berdiri di depan kelas dengan kapur di tangan, suara tegas, dan segalanya ditulis di papan tulis. Kini, guru bisa hadir dari balik layar, membagikan tautan video, memfasilitasi diskusi daring, bahkan membimbing siswa menciptakan karya digital. Dua kutub gaya mengajar ini sering disebut sebagai guru “Old School” dan guru “New School”.

Istilah guru Old School dan guru New School mulai populer digunakan di lingkungan pendidikan global sejak akhir 1990-an hingga awal 2000-an. Istilah ini lahir dari pengamatan terhadap pergeseran paradigma pendidikan, dari yang dulunya berpusat pada guru sebagai sumber utama pengetahuan, menjadi berpusat pada siswa sebagai subjek aktif pembelajaran. Guru Old School mewakili pendekatan tradisional yang menekankan pada ketertiban, hafalan, dan otoritas, sedangkan guru New School membawa semangat perubahan, mengintegrasikan teknologi, dialog, kreativitas, dan pendekatan yang lebih humanistik dalam pembelajaran.

Tentu saja, gaya mengajar Old School tidak bisa begitu saja dipinggirkan. Banyak nilai luhur yang diwariskan dari generasi ini, seperti kedisiplinan, kerja keras, dan hormat terhadap ilmu serta guru.

Pembelajaran dijalankan secara sistematis, terstruktur, dan efisien. Dalam konteks tertentu, seperti pendidikan pesantren atau lembaga yang mengedepankan keilmuan berbasis tradisi, gaya ini masih sangat relevan dan bahkan menjadi benteng nilai-nilai moral yang kian langka. Namun, dalam realitas pembelajaran saat ini yang menuntut fleksibilitas, kreativitas, dan kemampuan berpikir tingkat tinggi, gaya ini mulai terasa kaku dan membatasi potensi siswa yang sesungguhnya sangat beragam.

Sebaliknya, gaya New School menghidupkan ruang kelas sebagai laboratorium ide dan partisipasi. Guru tidak lagi berdiri sebagai satu-satunya pusat informasi, melainkan menjadi fasilitator yang membuka jalan bagi siswa untuk mengeksplorasi makna dan pengalaman. Penggunaan teknologi, proyek kolaboratif, dan pembelajaran kontekstual menjadi ciri khas pendekatan ini. Tak kalah penting, pendekatan ini lebih mengakui bahwa setiap anak memiliki kecerdasan yang berbeda-beda, sebuah prinsip yang dikenal dalam teori Multiple Intelligences oleh Howard Gardner. Ada siswa yang cemerlang secara logis-matematis, tetapi ada pula yang menonjol dalam kecerdasan musik, kinestetik, interpersonal, atau visual-spasial.

Sayangnya, pendekatan Old School yang terlalu menekankan pada hafalan dan ujian tulis sering gagal mengakomodasi keberagaman potensi inem. amun demikian, pendekatan New School juga bukan tanpa cela. Terlalu banyak kebebasan kadang menciptakan kekaburan arah dalam proses pembelajaran. Tidak semua guru memiliki kesiapan pedagogis untuk menjalankan metode aktif dengan efektif. Sementara itu, nilai-nilai seperti ketekunan dan penghargaan terhadap guru bisa terkikis jika relasi terlalu longgar atau tidak didampingi nilai yang kuat. Dalam beberapa kasus, siswa malah kehilangan struktur dan kedisiplinan yang justru mereka butuhkan sebagai fondasi belajar.

Lebih jauh, refleksi kritis ini juga harus menyinggung tentang pola pikir guru. Apakah kita memiliki fixed mindset yang meyakini bahwa kecerdasan dan kemampuan siswa itu tetap dan tidak bisa berubah atau kita mulai membiasakan growth mindset yang percaya bahwa kemampuan bisa dikembangkan melalui proses, dukungan, dan kerja keras? Guru dengan fixed mindset cenderung cepat menyerah ketika siswa gagal memahami pelajaran, dan mengatakan, “Anak ini memang tidak mampu.” Sebaliknya, guru dengan growth mindset akan melihat kegagalan sebagai peluang belajar, baik untuk siswa maupun dirinya sendiri. Ia akan lebih reflektif, mencari pendekatan baru, dan percaya bahwa setiap anak bisa tumbuh dengan cara dan waktunya masing-masing. Pola pikir inilah yang secara langsung memengaruhi bagaimana guru memilih strategi, merespons tantangan, dan membangun iklim kelas.

Maka dari itu, daripada saling mempertentangkan dua gaya ini, akan lebih bijak jika guru mengambil waktu untuk berefleksi secara jujur terhadap dirinya sendiri. Refleksi ini bisa dimulai dari pertanyaan-pertanyaan sederhana namun mendalam: apakah saya lebih sering menjadi pusat perhatian di kelas, ataukah saya memberi ruang bagi siswa untuk menemukan dan membangun pemahaman mereka sendiri? Apakah saya masih merasa nyaman dengan metode ceramah dan buku teks, atau sudah terbiasa menyisipkan teknologi dan media interaktif dalam pengajaran saya? Ketika berhadapan dengan siswa yang sulit mengikuti pelajaran, apakah saya cenderung menyalahkan kemampuan mereka, atau saya justru mencari cara baru untuk menjangkau mereka sesuai dengan kecerdasan dan gaya belajar mereka? Apakah saya lebih menghargai proses atau sekadar menilai dari hasil akhir saja? Dan lebih dalam lagi, apakah saya sendiri sebagai guru sudah memiliki growth mindset dalam mengembangkan potensi siswa maupun kemampuan saya sendiri?

Refleksi seperti ini membuka ruang kesadaran bahwa menjadi guru bukanlah soal menjadi “modern” atau “konvensional”, melainkan tentang keberanian untuk terus belajar, berkembang, dan beradaptasi dengan kebutuhan zaman serta kebutuhan manusia yang kita didik.

Pendidikan bukanlah pertarungan antara masa lalu dan masa depan, melainkan jembatan untuk menyatukannya. Kapur dan klik bisa berdampingan, selama kita memahami bahwa inti dari mengajar bukanlah metode, tapi niat untuk menumbuhkan potensi terbaik dalam diri setiap anak. Dan untuk itu, kita semua, baik guru Old School maupun New School, selalu berada dalam proses belajar yang belum selesai. /**