APC Mengajukan Praperadilan ke PN Selong
PT APC, sebuah korporasi swasta bidang pembibitan dan budi daya mutiara di perairan Sekaroh, Kecamatan Jerowaru, Kabupaten Lombok Timur, mengajukan praperadilan ke Pengadilan Negeri Selong.
Pengajuan praperadilan ini berkaitan dengan penetapannya sebagai tersangka korporasi dalam kasus dugaan korupsi penggunaan kawasaan Kelompok Hutan Sekaroh Register Tanah Kehutanan (RTK-15) di Kabupaten Lombok Timur.
“Surat pengajuan praperadilannya sudah kami layangkan ke pengadilan pada Selasa (1/8), lengkap dengan materinya,” kata Basri Mulyani, ketua tim pengacara PT APC di Mataram, Jumat.
Praperadilan ini diajukan karena penetapan tersangka korporasi oleh Kejari Selong pada 18 Juli 2017 itu dinilai tidak memenuhi ketentuan maupun prosedur yang berlaku dalam aturan hukum, khususnya undang-undang tindak pidana korupsi (tipikor).
“Jadi dalam materi pengajuan praperadilan, kami tidak menyinggung soal materi penyidikan, melainkan prosedur dalam penetapan klien kami sebagai tersangka,” ujarnya.
Berita terkait:
- APC Korporasi Pertama Tersangka Korupsi di NTB
- Kasus Hutan Sekaroh Mulai Disidangkan
Alasan pertama berkaitan dengan penetapannya sebagai tersangka, PT APC dikatakan tidak pernah sekali pun dipanggil oleh pihak Kejari Selong, mulai dari tahap penyelidikan sampai penyidikan.
“Pernah dipanggil penyidik tapi itu setelah penetapan sebagai tersangka, sebelumnya belum pernah, malah tiba-tiba ditetapkan sebagai tersangka,” ucap Basri.
Basri menilai Kejari Selong tidak berwenang melakukan penuntutan kepada PT APC karena dalam penetapannya sebagai tersangka disebutkan bahwa tindak pidana muncul sejak tahun 2005.
“Jadi penetapannya ini telah melampaui waktu, kedaluwarsa,” katanya.
Dijelaskannya bahwa untuk penetapan tersangka korporasi, telah diatur dalam ketentuan Pasal 20 Ayat 7 Undang-Undang Nomor 31/1999 sebagaimana telah diubah dalam Undang-Undang Nomor 20/2001 tentang Pemberantasan Tipikor.
“Dalam pasal itu disebutkan pidana pokok yang diterapkan terhadap korporasi adalah pidana denda,” ucapnya.
Berkaitan dengan pidana denda, lanjutnya, penyidik seharusnya melihat pada Pasal 78 Ayat 1 Angka 2 KUHP yang mengatur tentang hal tersebut.
“Di sana disebutkan, terhadap kejahatan dengan ancaman pidana denda, akan menghapus kewenangan penuntutan atau menuntut pidananya sesudah enam tahun. Dengan begitu, persoalan ini jelas sudah melampaui waktu, kedaluwarsa,” katanya.
Basri mengatakan, pidana pelanggaran yang dituduhkan kepada kliennya itu dinilai tidak tepat karena konteks perbuatannya mengandung dua ketentuan khusus yang berbeda, yakni undang-undang tipikor dan undang-undang kehutanan.
“Harusnya dengan konteks perbuatan ini yang disangkakan Undang-Undang Nomor 41/1999 tentang Kehutanan, bukannya undang-undang tipikor,” ucapnya.
Ia menambahkan, semua penilaian ini telah masuk dalam materi pengajuan praperadilan ke Pengadilan Negeri Selong.
“Masih ada lagi materi lainnya, tapi pada intinya kita tidak menyinggung materi penyidikan, lebih kepada prosedur penanganan perkaranya,” kata Basri.
Tinggalkan Balasan