Zul-Rohmi dan Masa Depan Wisata Halal
LOMBOKita – Penyelenggaraan Moto GP 2021 di Sirkuit Mandalika Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat (NTB) merupakan starting point sejarah baru bagi meletakkan fondasi tourism (pariwisata) Lombok (NTB). Ini dikarenakan Moto GP merupakan event Internasional, sehingga Lombok (NTB) automatically tentu menjadi focus (sorotan) masyarakat dunia.
Keberadaan sirkuit Mandalika dan event Moto GP sungguh merupakan gegap –gempita (kemeriahan) besar bagi masyarakat Lombok-NTB untuk menjadi pemain baru dalam bidang pariwisata bertaraf Internasional.
Konsekuensinya tentu Lombok-NTB akan memasuki grid baru untuk menjadi perhitungan masyarakat global. Lombok-NTB akan menjadi buah bibir dalam percakapan masyarakat dunia yang tentu saja akan membuka efek berantai bagi keberadaan Lombok_NTB sebgai region wisata. Seiring dengan hal itu tentu saja masyarakat Lombok-NTB memerlukan banyak persiapan untuk menyonsong fase baru ini.
Persiapan-persiapan niscaya dilakukan, agar masyarakat tidak terus-menerus menjadi penonton. Agar masyarakat bisa berperan aktif-positif sehingga tidak mengalami kekalahan atau menjadi pecundang yang menggertu di tengah hiruk-pikuk kemajuan pariwisata yang tidak dapat dibendung. Pariwisata merupakan sebuah peristiwa yang tidak dapat ditolak keberadaannya, karena ia merupakan sesuatu yang inherent dalam peradaban manusia. Ia ada sejak manusia mempunyai kemajuan peradaban, bahkan terlegitimasi dalam Wahyu Suci sang pemilik kehidupan sebagaimana terlukis di dalam Al-Qur,an.
“Berjalanlah kamu di muka bumi, dan lihatlah tanda-tanda kebesaran Tuhan mu”. “Akan kuperlihatkan kebesaran ku di setiap titik, sungguh hal itu merupakan pertanda kebesaran Tuhan-mu bagi orang-orang yang berakal (berfikir)” “Manusia dicipta untuk saling kenal-mengenal” yang bermakna bahwa hanya dengan saling berkunjung antar komunitas satu dengan lainnya lah masyarakat –manusia dapat saling kenal-mengenal secara baik.
Alas pijak ini penting penulis sampaikan agar masyarakat tidak hanya menyisakan pandangan sinis terhadap keberadaan pariwisata yang terus-menerus diusahakan perbaikan-perbaikannya oleh pemerintah. Kendatipun demikian resistensi itu sepertinya akan masih terus ditemukan kecuali “masyarakat” yang mempunyai refleksi kritis terhadap keberadaan pariwisata dapat menemukan hal-hal positif dalam penyajian pariwisata itu sendiri.
Selanjutnya tulisan ini akan memberikan deskripsi untuk menjawab pertanyaan bagaimana seharusnya pariwisata diformat agar dampak positifnya lebih banyak dibandingkan dampak negatifnya?
Desa Wisata
Salah satu misi dari kepemimpinan Bang Zul-Umi Rohmi adalah mewujudkan Desa Wisata. Jelas tergambar dari program yang dibuat di mana akan diberikan dana insentif satu milyar bagi desa-desa yang berpotensi untuk dikembangkan menjadi Desa Wisata. Langkah ini menurut penulis sangat strategis dalam rangka mengembangkan kelanjutan dari keberadaan wisata halal.
Wisata yang ramah terhadap peradaban islami. Wisata yang muatannya berbeda khasnya dengan wisata umumnya yang telah dikenal. Wisata Desa merupakan masa depan dari jargon wisata halal itu.
Ini dikarenakan desa sebagai entitas komunitas masyarakat mempunyai beberapa keunikan dengan enitas komunitas masyarakat kota yang cenderung berbaur berdasarkan spesifikasi keahlian. Desa sebagai komunitas yang agak seragam, di mana di Indonesia umumnya sering diidentifikasi sebagai masyarakat agraris dan nelayan dengan sentuhan industry madya mempunyai mekanisme control social yang masih cukup tinggi.
Dengan demikian terdapat mekanisme pengawetan nilai-nilai, norma-norma berdasarkan agama dan kearifan lokal. Dengan prasyarat-prasyarat tersebut memungkinkan pariwisata dapat diformat ulang. Dari keberadaan pariwisata konvensional menjadi pariwisata yang sengaja di desain bagi sebuah tujuan.
Bagaimanapun pariwisata jikalau ditilik dari sosiologi wisata mengkaji pula mengenai interaksi timbal balik antara wisatawan dengan masyarakat lokal. Interaksi inilah variable amatan yang memungkinkan bagi menilai ada tidaknya hubungan saling mempengaruhi antara masyarakat lokal dengan masyarakat pendatang (touris). Dalam konteks inilah kemudian Desa Wisata dapat diformat sedemikian rupa untuk dapat memberikan warna (penyajian) yang berbeda terhadap para touris yang datang.
Jikalau pariwisata selama ini banyak dikritik dikarenakan memberikan pengaruh yang kurang cocok dengan peradaban dan moralitas masyarakat setempat maka Desa Wisata yang telah didesain sedemikian rupa dapat menjadi titik balik. Ini juga sudah coba dipraktikkan di beberapa desa Wisata yang penulis ketahui. Sebut misalnya wisata Desa Mas-Mas Kecamatan Batukliang Lombok Tengah.
Dalam Standar Operasional Prosecedur (SOP) yang dibuat oleh pokdawis Desa Mas-mas para touris yang sebagaian besar datang dari Negara-negara Barat dikenakan pakaian lokal khas kebudayaan sasak. Setelah pakaian para touris diformat barulah mereka diajak berkeliling beinteraksi dengan masyarakat Desa Mas-mas. Lebih jauh dari itu interaksi dilakukan juga dengan para santri (sisa-siswi) pondok pesantren yang ada di desa itu dalam format yang didesain untuk pembelajaran di mana turis-turis itu dapat menjadi tutorialnya.
Setanggor Desa Wisata yang ada dilingkar BIL juga mempunyai SOP khas warna lokal. Bahkan ada wisata religiusnya dalam satu paket dengan wisata Desa itu sendiri. Khas-khas lokal lainnya tentu dengan sendirinya juga dihadirkan.
Desa wisata Lendang Nangke juga mencoba memberikan pelayanan sesuai dengan standar lokal. si Wendy Sazali yang penulis kenal sebagai tokoh Desa Wisata di sana mencoba menawarkan kearifan-kearifan lokal yang dimiliki untuk sekaligus disuguhkan kepada touris-touris yang berkunjung. Seakan Wendy paham betul bahwa masyarakat lokallah yang menjadi subyek dengan segala keunikannya.
Dengan model interaksi di Desa-Desa Wisata yang telah didesain sedemikian rupa sesungguhnya terdapat nafas wisata halal. Wisata yang tidak kontraproduktif dengan adat budaya masyarakat lokal, sehingga pariwisata itu dapat dimaklumi menjadi jalan untuk memberikan sesuatu yang “berharga” kepada tamu-tamu yang datang umumnya dari Negara-negara maju (Baarat umumnya).
Harapannya Desa-Desa Wisata lainnya yang banyak disemaikan oleh Bang Zul-Ummi Rohmi juga menerapkan SOP standar kearifan lokal yang tentunya dengan berbagai variasi penyajian sehingga pariwisata tidak terus tertuduh sebagai biang merosotnya moralitas, sehingga pariwisata tidak melulu dikeluhkan tetapi menjadi media untuk melibas degradasi moralitas itu sendiri.
Tinggalkan Balasan