Jangan Remehkan Campak dan Rubela

LOMBOKita – Indonesia dapat dikatakan memasuki kondisi darurat penyakit campak dan rubela. Hal ini lantaran banyaknya kasus campak dan rubela dalam empat tahun terakhir.

Dampak kedua penyakit ini tidak hanya terkait kesehatan masyarakat, tetapi juga menimbulkan kerugian ekonomi yang besar. Diperkirakan, selama kurun 2014-2018, kerugian ekonomi akibat campak dan rubela mencapai Rp 5,7 triliun.

Demikian disampaikan Ketua Umum Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI), Aman Bhakti Pulungan, Kamis (20/9).

Menurutnya, ancaman campak dan rubela di Indonesia tak bisa dianggap remeh. Ini dipicu masih rendahnya cakupan imunisasi measles dan rubella. Campak, misalnya, untuk masuk level aman, cakupan imunisasinya harus mencapai minimal 95%. Kondisi saat ini, hanya 15 dari 34 provinsi di Indonesia yang cakupan imunisassi 95%. Artinya masyarakat di sebagian besar provinsi tidak memiliki kekebalan cukup untuk menangkal serangan penyakit ini.

Belajar dari kasus di Kabupaten Asmat, pedalaman Papua, jika jumlah kasus yang sama terjadi di tiap kabupaten, Indonesia tidak akan cukup kuat untuk menanggung beban yang ditimbulkan. Bila dihitung, seseorang yang terkena penyakit campak tanpa komplikasi memakan biaya Rp 2,7 juta per kasus. Lain cerita seorang yang menderita campak dengan komplikasi radang paru atau otak, bisa menghabiskan Rp 13 juta per kasus untuk biaya pengobatan, belum termasuk biaya hidup yang dibutuhkan saat penderita mendapat perawatan.

Sedangkan biaya pengobatan minimal yang dibutuhkan seorang anak yang menderita Congenital Rubella Syndrome (CRS), berupa ketulian, gangguan penglihatan, kebutaan hingga kelainan jantung, mencapai lebih dari Rp 395 juta per orang. Biaya ini untuk penanaman koklea di telinga, operasi jantung, dan mata. Belum lagi biaya yang dibutuhkan untuk perawatan kecacatan seumur hidup.

“Anak yang terinfeksi rubela sejak dalam kandungan akan lahir dengan kondisi buta, tuli, jantung bocor, dan otak kecil. Satu anak saja bisa menghabiskan biaya perawatan Rp 300 juta sampai Rp 400 juta, belum perawatan selama hidup,” katanya.

Bila kasus positif rubela di tahun 2017 saja sebanyak 1.284 kasus dikalikan Rp 300 juta, maka dalam satu tahun biaya untuk pengobatan mencapai Rp 285,2 miliar. Bahkan seorang ibu berinisial Yn mengaku biaya perawatan untuk anaknya sejak lahir hingga berusia 8 tahun mencapai Rp 619 juta. Ibu lainnya berinisial GM menghabiskan Rp 327 juta untuk biaya pemasangan alat bantu atau penunjang anaknya, biaya cek kesehatan Rp34 juta, dan rehabilitasi 2,6 juta setiap bulan.

Dalam empat tahun terakhir (2014 hingga Juli 2018) jumlah penyakit rubela menimbulkan kerugian ekonomi hingga Rp 5,7 triliun. Perhitungan ini menggunakan cost benefit analysis yang dilakukan Prof Soewarta Kosen dari Litbangkes Kementerian Kesehatan pada 2015. Hal ini tentu tak sebanding dengan biaya yang dikeluarkan Kementerian Kesehatan untuk kampanye dan melaksanakan program imunisasi MR, yang hanya sebesar Rp 29.000 per orang.

Kerugian dan beban yang ditanggung makin besar jika tidak dilakukan imunisasi. Sejauh ini imunisasi adalah satu satunya pencegahan yang paling efektif dan efisien.

Kekebalan
Untuk itu, Kementerian Kesehatan (Kemkes) melakukan berbagai upaya untuk memberi kekebalan bagi semua anak Indonesia, di antaranya imunisasi MR. Imunisasi MR bertujuan mencegah penyakit campak dan rubela atau campak Jerman, yang kasusnya masih tinggi di Indonesia dan beberapa negara lain.

Imunisasi MR dilaksanakan dalam dua tahap. Tahap pertama dilaksanakan Agustus-September 2017 lalu di 6 provinsi di Pulau Jawa dengan sasaran 30,8 juta anak usia 9 bulan sampai di bawah 15 tahun. Cakupan imunisasi di Pulau Jawa ini bahkan mencapai 100% lebih, melebihi target pemerintah 95%.

Tahap kedua, imunisasi MR dilanjutkan ke 28 provinsi lain di luar Pulau Jawa pada Agustus-September 2018, dengan sasaran 31,9 juta anak. Sayangnya, target cakupan rata-rata di 28 provinsi ini belum sesuai harapan. Per 21 September 2018, cakupannya masih di angka 51%, jauh dari target sekitar 85%. Dari 28 provinsi sasaran, yang baru mencapai target adalah Provinsi Papua Barat sebesar 91,94%. Sementara Aceh masih merupakan provinsi dengan cakupan terendah dan cenderung stagnan di angka yakni 7%. Pada akhir September, atau di akhir program, ditargetkan cakupan imunisasi mencapai minimal 95%.

Menteri Kesehatan Nila Djuwita Farid Moeloek mengakui, campak dan rubela masih menjadi permasalahan kesehatan serius bagi sejumlah negara, terutama Indonesia. Data Badan Kesehatan Dunia (WHO) yang dipublikasikan 2015 menyebutkan, Indonesia termasuk 10 negara dengan jumlah kasus campak terbesar di dunia. Dibandingkan negara-negara lainnya, Indonesia termasuk kawasan South East Asia Regional (SEAR) bersama regional Afrika, yang merupakan dua regional terakhir dalam hal target pencapaian eliminasi campak di tingkat global. Regional lainnya, yaitu Amerika, Eropa, Pasifik Barat, dan Timur Tengah telah mencapai eliminasi campak sejak tahun 2000 dan rubela pada 2009.

Sampai dengan Desember 2017, jumlah negara yang telah berhasil mengeliminasi campak sebanyak 76 atau baru 39% dari total negara di dunia. Sedangkan eliminasi rubela baru 70 negara atau 36%. Eliminasi artinya tidak ditemukan lagi daerah yang selalu melaporkan kasus dalam kurun waktu sekurang-kurangnya 12 bulan, dan tidak terjadi penularan penyakit campak dan rubela.

Kemkes sendiri mencatat jumlah kasus campak dan rubela di Indonesia sangat banyak dan cenderung meningkat dalam kurun waktu lima tahun terakhir. Jumlah kasus yang dilaporkan antara 2014 sampai dengan Juli 2018 sebanyak 8.964 positif campak, dan 5.737 positif rubela. “Jika tidak dilakukan imunisasi MR, maka dampak dari kedua penyakit akan menjadi ancaman dan beban berat bagi bangsa kita,” kata Menkes, baru-baru ini.

Menurut Menkes, apabila tidak dilakukan imunisasi atau cakupan imunisasi di satu daerah rendah, maka tidak ada kekebalan tubuh masyarakat terhadap serangan virus campak dan rubela. Jika tidak punya kekebalan, maka wabah campak dan rubella berpotensi terjadi kapan saja. Pengalaman kasus campak di Asmat, Papua pada awal 2018 lalu. Sebanyak 70 orang meninggal dan 750 lainnya dirawat intensif di rumah sakit karena terinfeksi campak.

Satu-satunya cara untuk menghentikan penularan penyakit ini adalah imunisasi. Imunisasi memberikan kekebalan pada tubuh dari serangan virus ini. Cakupan imunisasi di satu daerah harus di atas 95%. Inilah yang disebut dengan kekebalan komunitas.

Jika di sebuah daerah hanya sedikit yang diimunisasi, maka penyakit ini mudah tersebar dan menjangkiti banyak orang dalam waktu singkat. Sebaliknya jika lebih banyak atau 95% orang sudah diimunisasi, akan memiliki kekebalan untuk melindungi 5% orang lainnya yang tidak diimunisasi. Itulah mengapa ada orang yang merasa tidak diimunisasi tapi selalu sehat, karena di sekelilingnya sudah diimunisasi sehingga terbentuk kekebalan terhadap serangan virus ini.

Dampak positif yang dihasilkan dari imunisasi MR terbukti di Pulau Jawa. Tingginya cakupan imunisasi di Pulau Jawa pada 2017 lalu berhasil menurunkan kasus campak dan rubela. Kemkes mencatat adanya penurunan kasus campak dan rubela setelah dilaksanakannya program imunisasi MR fase pertama secara serentak di 6 provinsi di Pulau Jawa dibandingkan kurun waktu yang sama di tahun sebelumnya.

Dirjen Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Kemkes Anung Sugihantono mengatakan, penurunan kasus terjadi dikarenakan capaian cakupan imunisasinya lebih dari 100% di saat bersamaan, sehingga tidak ada sirkulasi virus liar yang mampu menularkan pada kelompok risiko.

“Virus ini tidak mampu menularkan ke kelompok risiko karena sudah terlindungi atau punya kekebalan cukup untuk menangkal virus tersebut. Itu yang disebutkan dengan herd immunity (kekebalan komunitas),” kata Anung.

Sayangnya, imunisasi MR di luar Pulau Jawa belum sesuai harapan. Beberapa daerah yang rendah cakupannya ini karena adanya penolakan terkait status halal-haramnya vaksin. Padahal, Majelis Ulama Indonesia (MUI) sudah mengeluarkan fatwa bahwa imunisasi adalah wajib, dan vaksin MR buatan Serum Institute of India (SII) yang digunakan saat ini hukum boleh (mubah).

Menurut Menkes, Kemkes akan tetap melanjutkan imunisasi apabila hingga akhir September ini cakupan imunisasi di 28 provinsi tersebut belum mencapai target 95%. Kemkes akan memperpanjang waktu pelaksanaan imunisasi dari target sebelumnya selama dua bulan, Agustus hingga September.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Belum ada komentar disini
Jadilah yang pertama berkomentar disini